Wednesday, February 01, 2012
Arin….
Episode I
Dhiyah MuhaRRaikah.
“cinta itu tidak buta namun cinta itu mempunyai kaca mata dengan lensa +++…”. Aku masih ingat kata – kata itu ketika aku dan Arin baru menyandang status pacaran, tepatnya 17 bulan yang lalu. Persepsi tentang cinta buta yang telah lama ku genggam, dalam waktu sekejap saja, ku lepaskan dari genggamanku karena Arin. Aku mengenal sosok wanita yang mnenyenangkan ini di sebuah universitas negeri ternama di sebuah ibu kota. Arin bisa menerima aku apa adanya. Setelah tiga tahun kami menuntut ilmu bareng, ku beranikan diri mengungkapkan perasaanku terhadap wanita yang dikenal pendiam ini.
****
Hening…. hanya decahan disebuah kamar kost berukuran 4 x 5 meter, dengan harapan Arin mau mengangkat telephone dariku.
“halo…. Assalamu’alaikum, Siapa nih,??”
(yahc… itu suara Arin). “waalaikummussalam, ini dengan Arin yach,?”.
“eeemmm.. iya, kalau ini dengan siapa,?”.
(Dak… dik… duk… begitulah kira – kira suara jantungku). “ini… dengan Lintang, maaf yah Rin, aku mengganggumu malam – malam”.
(Seperti biasa, Arin dengan sifat ketusnya).
“ooohhh… kenapa, ada yang penting,?”.
“emmmm…. Rin, sebelumnya aku minta maaf, mungkin cara aku ini tidak sopan tapi… jujur aku tidak pernah punya kesempatan untuk bicara langsung sama kamu”.
“maksud kamu,?”,
“aku hanya ingin bilang ‘kalau aku suka sama kamu dan kamu mau ngakk jadi pacar aku,.??”.
“ekhemmm… barusan adalah cuplikan skenario drama komedi percintaan yang berjudul Cuma iseng doang”. Arin mencoba membuat lelucon dari ungkapan perasaanku.
“ahh…. Kamu bisa aja Rin, tapi aku serius nich, aku suka sama kamu sejak dua tahun lalu dan ku coba untuk memendamnya karena aku sadar kalau seorang Arin tidak pantas dimiliki oleh seorang pria yang serba kekurangan seperti aku tapi kali ini aku tidak bisa memendam perasaan itu lagi”.
“jujur Lin…. Aku juga suka sama kamu”.
“ jadi maksud kamu,?”.
“maksud aku…. Aku juga suka kalau ada orang yang suka sama aku, termasuk kamu dan siapapun yang ada diposisi kamu”.
(Uuhh…. Arin bisa saja membuatku harap – harap cemas).
“tapi maksud aku, bagaimana perasaan kamu ke aku,?”.
“perasaan aku ke kamu, ya… perasaan sebagai seorang teman”.
“tapi… perasaan kamu itu bisa berubah kan, Rin,.??”
“why not. Oh ya Lin, kamu mau aku jawab kapan,.?? Ada tiga pilihan. 1. Hari ini/ besok, 2. Satu minggu lagi atau 3. Satu bulan lagi,.??”
“trus apa bedanya dari yang ketiga itu,.??”
“kalau yang pertama, jawabannya sudah pasti ‘tidak’. Yang kedua, antara ‘ya dan tidak’ dan yang ketiga, jawabannya sudah pasti ‘ya’”.
“kalau gitu aku pilih yang kedua aja”.
“kamu tahu kalau perasaan aku ke kamu hanya sebatas teman biasa, jadi yang harus kamu lakukan adalah mengubah perasaan aku ke kamu. Dari yang teman biasa menjadi lebih dari teman biasa,…”
“…lah bagaimana caranya Rin,.??”
“itumah terserah kamu, eemmm itupun kalau kamu mau,??”
“ok. Aku akan coba”.
“udah dulu yahc, assalamu’alaikum wr.wb…”. Arin langsung menutup telephone dariku.
Selepas ku telephone Arin, ku fikirkan cara yang tepat untuk membuat Arin suka sama aku. Ku coba minta saran dari teman. Dan ada beberapa saran yang ingin ku lakukan, diantaranya menyanyikan lagu di depan teman – teman, membacakan puisi dan lebih aktif dalam proses perkuliahan.
****
Hari ini ku mulai misi yang pertama untuk menyanyikan sebuah lagu di depan teman – teman. Disela – sela menunggu dosen, ku beranikan diri maju ke depan.
“teman – teman mohon perhatiannya sebentar, ada teman kita yang mau menyanyikan sebuah lagu untuk seorang cewek yang ia sukai”. Ketua tingkat kami mengawali penampilanku siang itu.
“cieee… cieee… cieee…, siapa tuh,.??” Yahh itulah teriakan dari teman – teman. Namun ku coba untuk tetap tenang.
“lagu ini ku persembahkan untuk seseorang yang aku suka, Dealova”. Ku mulai menyanyikan lagu yang dibawakan oleh Oncce “Dealova” diiringi gitar yang sengaja ku bawa hari ini.
Uugghh…. 3 menit berlalu ku bernyanyi tiba – tiba dosen datang. Akhirnya selesailah usahaku hari itu. Ku mulai belajar untuk lebih aktif dalam ruangan. Dan masih banyak lagi yang ku lakukan untuk bisa menarik perhatian Arin. Hingga satu minggu telah berlalu dan Arin pun tidak mengecewakanku. Akhirnya tepat November 2010, kami resmi pacaran.
***
Satu bulan bersama Arin, aku merasa asing dengan diriku, Arin selalu mengatur hidupku, mulai dari cara berpakaianku,
“Lin,… sekarang kan kamu sudah kuliah yang sebentar lagi akan masuk ke dunia kerja, masa’ celana kamu masih seperti anak – anak SMU, boleh nggak kamu pakai celana kain yang mencerminkan seorang pria dewasa,.??”.
Belum lagi aku harus menemaninya sholat ketika adzan berkumandang walaupun kami sedang belajar.
“Lin,… aku tunggu kamu di depan kelas 2 menit lagi”. Begitu isi sms darinya.
“untuk apa,.?”.
“pokoknya kamu keluar aja,.!”.
“tapikan sekarang kita lagi belajar.”.
“ya… udah, ini sms terakhirku setelah satu menit kemudian kamu tidak keluar,.”.
sampai pada siapa saja yang boleh berteman denganku,
“Lin,.. kamu tau ngakk, selama ini kamu jadi perokok pasif loh”.
“kenapa kamu bilang gitu”.
“iya,.. soalnya kamu itu berteman dengan orang – orang perokok, jadi kalau mereka merokok maka kamu juga akan mengisap asap rokok secara otomatis. Dan perokok pasif lebih berbahaya dari perokok aktif”.
“kalau kamu menerima aku jadi pacarmu, itu berarti kamu menerima aku apa adanya, bukan dengan menjadikanku seperti yang kamu inginkan”. Ku balas kata – kata Arin.
“tapi menurut kamu, apa aku salah kalau aku ingin merubah menjadi lebih baik orang yang aku sayang,.??”.
kata – kata itu terlalu mengiris untukku, maklum baru kali ini ada orang yang bilang kalau ingin melihat aku menjadi lebih baik. Mama saja nggakk pernah bilang kaya’ gitu ke aku. aahhh… tapi bagaimanapu juga, Arin tetap tidak menerima aku apa adanya.
***
Hingga suatu hari ku ceritakan keluh kesahku pada teman – temanku, tanpa aku menyadarinya, Arin mendengar pembicaraanku. Akhirnya dia marah besar dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.
“Lin, kalau memang ada yang tidak kamu suka dari aku, kenapa kamu tidak bilang langsung ke aku,.??. kalau aku bisa, aku akan memperbaiki sikapku, tapi kalau aku tidak bisa, kitakan bisa mengakhirinya dengan baik – baik, tidak dengan menceritakannya ke teman – temanmu”.
Ahhh… aku tak bisa berkata apa – apa.
“aku minta maaf Rin, aku tau aku salah, aku janji, aku akan jujur sama kamu, aku akan jelasin ke kamu tentang apa yang aku katakan tadi, tapi please tidak dengan mengakhiri hubungan kita kan,??”.
“kamu boleh saja jelasin tentang kejadian tadi, tapi tidak sekarang, aku tau saat ini kamu bingung untuk mengucapkan alasan yang tepat, lagipula masih ada kuliah yang pastinya masih membutuhkan energy untuk berfikir padahal kamu belum makan siang.??”.
Arin bisa aja membaca pikiranku.
“terus kapan dong Rin,.?”.
“nanti satu bulan lagi”.
“kok lama banget,.?”.
“ya udah, 2 bulan lagi”.
“laah itu mah lebih lama lagi”.
“3 bulan lagi”.
“ya udah 3 bulan”. Ini kebiasaan buruk Arin, jika ditentang keinginannya, maka ia makin menjadi – jadi. Ia sering ku anggap egois dan tak mau mengalah.
***
Hari pertama ku jalani setelah pembicaraanku dengan Arin soal alasanku. Arin berubah,… ia tak lagi memperhatikanku, tak lagi memanggilku untuk menemaninya sholat, tak lagi membalas sms dariku, tak lagi mengangkat telephone dariku, senyum dariku saja terkadang ia tak membalasnya.
Hari pertama masih bisa ku nikmati, namun beberapa hari selanjutnya, aku baru sadar, aku kehilangan sosok Arin.
Bersambung…