1.
Judul :
Faktor Pencegahan HIV/AIDS akibat perilaku berisiko tertular pada siswa SLTP di
Depok
2.
Apa yang bermasalah :
F Independen : faktor pencegahan HIV/AIDS
F Dependen : pencegahan HIV/AIDS melalui perilaku
berisiko tertular pada siswa SLTP di Depok
3.
Apa masalahnya : Pada anak remaja
sesuai tahap tumbuh kembang secara psikososial selalu berkeinginan untuk
mencoba sesuatu yang baru, mencari identitas diri dan uji nyali. Jika
dianalisis, maka potensi anak remaja untuk melakukan/mencoba sesuatu dapat
menjadi meningkat, jika tidak ada pendampingan dari orang terdekat. Dengan
demikian, potensi tertular HIV/AIDS makin tinggi karena kurangnya pengetahuan.
Depok, merupakan daerah penyangga DKI Jakarta dan merupakan area pusat
pendidikan seperti UI, juga memiliki kondisi yang tidak kalah menarik dimana
hasil RISKESDAS tahun 2007 didapatkan bahwa pengetahuan dan sikap penduduk ≥ 10 tahun pernah mendengar tentang HIV/AIDS
64,1%, berpengetahuan benar tentang penularan HIV/AIDS 49,9%, dan
berpengetahuan benar tentang pencegahan HIV/AIDS 37,8%. Sebagai kota yang
diarahkan untuk menjadi wilayah pusat pendidikan baik dasar, menegah dan
tinggi, maka jumlah remaja di daerah ini cukup signifikan dan potensi untuk
terjadinya penularan. HIV/AIDS menjadi tinggi pula. Jika permasalahan yang
dihadapi remaja tersebut tidak segera ditanggulangi, maka akan berdampak pada
makin tingginya angka HIV/AIDS dan hilangnya masa produktif dari penderita
sehingga pada akhirnya berdampak pada kehilangan usia produktif di Indonesia.
Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah mengkaji perilaku yang mengarah
pada penularan HIV/AIDS sejak usia sekolah. Harapannya, apabila teridentifikasi
perilaku berisiko tertular HIV/AIDS, maka penanganan selanjutnya menjadi lebih
fokus dan tuntas. Sampai saat ini masih sedikit penelitian yang
mengidentifikasi faktor pencegahan terkait perilaku berisiko tertular sehingga
suatu model intervensi kegiatan pencegahan dini belum dapat dikembangkan
4.
Kenapa bermasalah : Upaya yang dilakukan pemerintah melalui
Departemen Kesehatan RI dan lembaga-lembaga lainnya dalam mengurangi penderita
HIV/AIDS dilakukan melalui edukasi dan promosi yaitu penyuluhan melalui
kampanye, media massa, penyebaran leaflet dan kampanye penggunaan kondom.
Tetapi upaya tersebut masih saja kurang atau belum menurunkan angka HIV/AIDS.
Hal lain yang dilakukan oleh LSM adalah memberdayakan individu penderita
HIV/AIDS untuk bisa mandiri dan siap menghadapi kehidupan selanjutnya. Menurut,
edukasi/penyuluhan tentang perilaku tertular HIV/AIDS sudah dilakukan di DKI
Jakarta tetapi belum memberikan dampak karena masih dirasakan tingginya angka
kejadian tertular HIV/AIDS.
5.
Tujuan penelitian
a.
Tujuan umum
untuk menganalisis faktor pencegahan
HIV/AIDS melalui perilaku berisiko tertular pada siswa SLTP di Depok
b.
Tujuan khusus
F Untuk
membuktikan adanya pengaruh antara pengetahuan terhadap terjadinya perilaku
berisiko tertular pada siswa SLTP
F Untuk
membuktikan adanya pengaruh antara sikap terhadap terjadinya perilaku berisiko
tertular pada siswa SLTP
F Untuk
membuktikan adanya pengaruh antara usia terhadap terjadinya perilaku berisiko
tertular pada siswa SLTP
F Untuk
membuktikan adanya pengaruh antara jenis kelamin terhadap terjadinya perilaku
berisiko tertular pada siswa SLTP
F Untuk
membuktikan adanya pengaruh antara pendidikan terhadap terjadinya perilaku
berisiko tertular pada siswa SLTP
F Untuk
membuktikan adanya pengaruh antara informasi orang tua terhadap terjadinya
perilaku berisiko tertular pada siswa SLTP
F Untuk
membuktikan adanya pengaruh antara informasi masyarakat terhadap terjadinya
perilaku berisiko tertular pada siswa SLTP
F Untuk
membuktikan adanya pengaruh antara budaya terhadap terjadinya perilaku berisiko
tertular pada siswa SLTP
6.
Kesimpulan hasil penelitian
Indonesia merupakan negara berkembang
dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,5% per tahun. Berdasarkan sensus
penduduk yang terakhir pada tahun 2000 diperkirakan jumlah penduduk mencapai
lebih dari 206 juta dan sebagian besar penduduk Indonesia hidup di pulau Jawa
(59%) khususnya DKI Jakarta. Data BPS menunjukkan jumlah penduduk DKI Jakarta
per Juli 2005 sebanyak 7,47 juta orang. DKI Jakarta dan Depok merupakan daerah
perkotaan yang padat penduduknya, hampir 25-37% penduduk tinggal di daerah
perkotaan. Diperkirakan pada tahun 2020 lebih dari 50% dari penduduk akan
tinggal di kota. Penyebabnya karena kemudahan memperoleh informasi, kemudahan
mencari pekerjaan, lengkapnya fasilitas dan teknologi serta kemudahan
akses pelayanan kesehatan (hampir 140%
ada di sektor perkotaan dan 39% di sektor pedesaan). Selain itu Indonesia juga
negara yang subur dan kaya sumber daya alam namun sebagian besar rakyat
Indonesia tergolong masyarakat miskin. Menurut Oey pada tahun 1998-1999
penduduk miskin Indonesia mencapai sekitar 24% dari jumlah penduduk atau hampir
40 juta orang. Tahun 2002-2003 terjadi penurunan menjadi 16,0% dan tahun
2004-2005 terjadi kenaikan lagi menjadi 16,7%. Sejak tahun 2006, tingkat
kemiskinan nasional meningkat menjadi 17,8% dibandingkan tahun 2002-2005. Angka kemiskinan pada tahun 1998 antara kota
dan desa berbeda 6,3% (desa lebih tinggi dibanding kota). Tahun 2001 selisih
menjadi lebih besar yaitu 15,1%. Tetapi pada tahun 2005 selisih angka
kemiskinan kota dan desa mengalami penurunan 8,1%. Ketika angka kemiskinan menunjukkan tingkat
terendah, justru terjadi krisis ekonomi (moneter) pada bulan Agustus 1997. Padatnya
penduduk dan kemiskinan di daerah perkotaan serta kebutuhan ekonomi yang makin
meningkat menyebabkan banyak perempuan turut mencari nafkah terutama menjadi
pekerja seks komersial karena tidak membutuhkan keterampilan dan uangnya mudah
diperoleh. Perilaku seks bebas seperti ini jika tidak diimbangi dengan
pemahaman tentang bahaya penyakit sebagai akibat dari perilaku berisiko ini
akan menimbulkan mudahnya tertular penyakit berbahaya. Salah satunya adalah
infeksi HIV/AIDS yang sampai saat ini makin kompleks dan berada pada situasi
yang mengkhawatirkan karena jumlahnya meningkat terus khususnya di daerah
perkotaan. Peningkatan yang mengkawatirkan ini terutama jika dibandingkan dengan
jumlah pasien dengan penyakit tropis maupun penyakit kronis atau terminal
lainnya. Prevalensi HIV/AIDS di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan
daerah pedesaan. Di Indonesia pada 31
Desember tahun 2007 jumlah penderita HIV/AIDS 11.141 kasus per 100.000
penduduk, angka kejadian HIV/AIDS sebanyak 4,91 kasus per 100.000 penduduk.
Jawa Barat memiliki jumlah kasus HIV/AIDS 1.675 kasus per 100.000
penduduk, case rate sebanyak 4,28 kasus per 100.000 penduduk.
Upaya yang dilakukan pemerintah melalui Departemen
Kesehatan RI dan lembaga-lembaga
lainnya dalam mengurangi penderita HIV/AIDS dilakukan melalui edukasi dan
promosi yaitu penyuluhan melalui kampanye, media massa, penyebaran leaflet dan
kampanye penggunaan kondom. Tetapi upaya tersebut masih saja kurang atau belum
menurunkan angka HIV/AIDS. Hal lain yang dilakukan oleh LSM adalah
memberdayakan individu penderita HIV/AIDS untuk bisa mandiri dan siap
menghadapi kehidupanselanjutnya. Menurut, edukasi/penyuluhan tentang perilaku
tertular HIV/AIDS sudah dilakukan di DKI Jakarta tetapi belum memberikan dampak
karena masih dirasakan tingginya angka kejadian tertular HIV/AIDS. Pada anak remaja sesuai tahap tumbuh kembang
secara psikososial selalu berkeinginan untuk mencoba sesuatu yang baru, mencari
identitas diri dan uji nyali. Jika dianalisis, maka potensi anak remaja untuk
melakukan/mencoba sesuatu dapat menjadi meningkat, jika tidak ada pendampingan
dari orang terdekat. Dengan demikian, potensi tertular HIV/AIDS makin tinggi
karena kurangnya pengetahuan. Depok, merupakan daerah penyangga DKI Jakarta dan
merupakan area pusat pendidikan seperti UI, juga memiliki kondisi yang tidak
kalah menarik dimana hasil RISKESDAS tahun 2007 didapatkan bahwa pengetahuan
dan sikap penduduk ≥ 10 tahun pernah
mendengar tentang HIV/AIDS 64,1%, berpengetahuan benar tentang penularan
HIV/AIDS 49,9%, dan berpengetahuan benar tentang pencegahan HIV/AIDS 37,8%.
Sebagai kota yang diarahkan untuk menjadi wilayah pusat pendidikan baik dasar,
menegah dan tinggi, maka jumlah remaja di daerah ini cukup signifikan dan
potensi untuk terjadinya penularan HIV/AIDS menjadi tinggi pula. Jika
permasalahan yang dihadapi remaja tersebut tidak segera ditanggulangi, maka
akan berdampak pada makin tingginya angka HIV/AIDS dan hilangnya masa produktif
dari penderita sehingga pada akhirnya berdampak pada kehilangan usia produktif
di Indonesia. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah mengkaji perilaku
yang mengarah pada penularan HIV/AIDS sejak usia sekolah. Harapannya, apabila
teridentifikasi perilaku berisiko tertular HIV/AIDS, maka penanganan
selanjutnya menjadi lebih fokus dan tuntas. Sampai saat ini masih sedikit
penelitian yang mengidentifikasi faktor pencegahan terkait perilaku berisiko tertular
sehingga suatu model intervensi kegiatan pencegahan dini belum dapat
dikembangkan. Faktor pencegahan melalui perilaku berisiko tertular HIV/AIDS di
Depok terdiri dari faktor intrinsik yang meliputi pengetahuan, sikap,
pencegahan, usia, jenis kelamin dan pendidikan. Sedangkan faktor ekstrinsik
meliputi lingkungan (keluarga dan masyarakat), informasi orang lain, fasilitas,
sosial dan budaya (stigma). Berdasarkan permasalahan hal tersebut maka
penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor pencegahan HIV/AIDS melalui
perilaku berisiko tertular pada siswa SLTP di Depok. Penanganan HIV/AIDS
memerlukan perhatian yang serius dari berbagai pihak. Hal ini terutama karena penyakit
ini mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh yang akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup dan produktifitas bangsa.
Responden pada penelitian ini rata-rata berusia 12 tahun dan merupakan anak
pertama dan kedua. Proporsi laki-laki dan perempuan siswa SLTP mendekati sama
dan sebagian besar (97,6%) tinggal dengan orang tua. Persepsi siswa SLTP
tentang dirinya masih dirasakan kurang terutama dalam hal pengetahuan, sikap
dan pencegahan HIV/AIDS melalui perilaku berisiko tertular. Hasil ini
mengindikasikan bahwa edukasi dan promosi yang dilakukan pemerintah maupun
pihak lain masih belum merata. Penelitian menunjukkan bahwa persepsi responden
tentang faktor ekstrinsik dirasakan masih kurang, baik informasi yang didapat dari
orang tua, fasilitas yang tersedia, informasi
dari orang lain. Proporsi persepsi tentang pengetahuan, sikap dan pencegahan
yang baik memberikan kemudahan dalam kemampuan memiliki pemahaman tentang
mencegah HIV/AIDS melalui perilaku berisiko tertular pada siswa SLTP. Hasil uji
statistik menunjukkan bahwa persepsi tentang pengetahuan, sikap dan pencegahan
berhubungan dengan upaya pencegahan HIV/AIDS melalui perilaku berisiko tertular
pada siswa SLTP (p = 0,000). Hasil ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan
HIV/AIDS melalui perilaku berisiko tertular memerlukan peningkatan pemahaman
tentang pengetahuan, sikap dan upaya pencegahan secara terus menerus dan
sebaliknya para siswa seyogyanya selalu siap dan sadar untuk mempelajarinya.
Hal ini sesuai dengan psikologi pembelajaran yang efektif dimana materi yang
diberikan hanya akan memberikan efek positif terhadap perilaku apabila menarik,
diberikan secara bertahap, terus menerus, dan penerima pengetahuan siap secara
fisik dan mental. Keefektifan belajar akan meningkat bila diberikan melalui
peningkatan motivasi berpikir kritis. Persepsi tentang informasi dari keluarga,
fasilitas yang tersedia, informasi dari orang lain dan pemahaman tentang stigma
yang berkembang di masyarakat yang baik memberikan kemudahan dalam kemampuan
tentang pemahaman tentang mencegah HIV/AIDS melalui perilaku berisiko tertular
pada siswa SLTP. Pada uji statistik didapatkan bahwa persepsi tentang informasi
dari keluarga, fasilitas yang tersedia, informasi dari orang lain dan pemahaman
tentang stigma yang berkembang di masyarakat berhubungan dengan pencegahan
HIV/AIDS melalui perilaku berisiko tertular pada siswa SLTP (p = 0,000).
Gambaran ini sesuai dengan konsep bahwa sumber daya termasuk fasilitas dan
kepakaran dalam memberikan informasi merupakan indikator kualitas informasi
yang diberikan dalam mengubah perilaku yang diharapkan. Hasil ini juga menggambarkan
bahwa masih banyak upaya yang harus dilakukan untuk membuat para responden
berkemampuan melakukan pencegahan HIV/AIDS melalui perilaku berisiko tertular.
7.
Analisis
Penelitian ini telah menemukan ada
hubungan antara persepsi faktor intrinsik meliputi pengetahuan, sikap dan
pencegahan dengan pencegahan HIV/AIDS melalui perilaku berisiko tertular pada
siswa SLTP. Serta ada hubungan antara persepsi faktor ekstrinsik meliputi informasi
dari keluarga, fasilitas yang tersedia, informasi dari orang lain dan pemahaman
tentang stigma yang berkembang di masyarakat dengan pencegahan HIV/AIDS melalui
perilaku berisiko tertular pada siswa SLTP. Hasil temuan ini menunjukkan masih
banyak kegiatan pencegahan yang perlu dilakukan terutama tentang perlunya
peningkatan pengetahuan melalui komunikasi, informasi dan edukasi tentang
faktor pencegahan HIV/ AIDS melalui perilaku berisiko tertular pada bagi siswa
SLTP secara teratur dan berkesinambungan serta, perlunya peningkatan bimbingan
dan konseling dari guru serta pendampingan dari orang tua bagi anak2nya. Selain
itu, pendidikan seks berupa kesehatan reproduksi bagi remaja sebagai bagian
dari kurikulum resmi perlu untuk ditingkatkan pula. Keterlibatan sampel yang
hanya berasal dari satu sekolah merupakan keterbatasan dari penelitian ini.
Oleh karena itu, penelitian selanjutnya direkomendasikan untuk mengkaji
perilaku pencegahan terhadap HIV/AIDS dikalangan remaja dengan menggunakan
model pencegahan perilaku berisiko dan pengambilan sampel dari beberapa sekolah
dan tingkat pendidikan perlu dilakukan.
0 komentar:
Posting Komentar
Tulislah walau satu kata,.!!