Dosen Pengasuh :
Muzakkir
Mata Kuliah :
Riset Keperawatan
KUMPULAN
TUGAS 1, 2, 3 DAN 4
PERTANYAAN
TENTANG MASALAH KESEHATAN,
MEMISAHKAN
DATA NASIONAL DAN PROVINSI DARI JURNAL,
MENCARI
JURNAL, MEMBUAT
JUDUL PENELITIAN DAN KERANGKA KONSEP
OLEH
NADWIYAH MUHARRIKAH
NH.01.09.239
SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN
NANI
HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
Tugas 1.
Pertanyaan
tentang masalah – masalah kesehatan di
Indonesia
1.
Mungkinkah rokok dimusnahkan sementara rokok menjadi sahabat
masyarakat Indonesia,.?
2.
Dimana kita harus mendapatkan oksigen yang sehat,.?
3.
Mengapa praktek aborsi merajalela di belahan bumi Indonesia,.?
4.
Mengapa banyak bayi yang lahir tanpa seorang ayah,.?
5.
Bagaimana masa depan purtera puteri Indonesia yang kecanduan
narkoba,.?
6.
Bagaimana keadaan Indonesia kelak jika putera – puterinya tidak
lagi sehat,.?
7.
Akankah kita bisa melihat kembali Indonesia yang hijau dan yang
kaya akan oksigen yang sehat,.?
8.
Bagaimana cara kita untuk menjadikan Indonesia sehat,.?
9.
Bagaimana keadaan alat reproduksi puteri – puteri Indonesia yang
telah melakukan seks diusia dini,.?
10.
Siapakah yang harus disalahkan atas kelakuan nakal para pemuda,.?
11.
Bagaimana perkembangan psikologis anak yang hidup dengan kekerasan
dalam rumah tangga,.?
12.
Apa yang harus dilakukan seorang pemuda untuk meningkatkan kualitas
sehat di Indonesia,.?
13.
Bagaimana pengaruh mobilisasi terhadap resiko terjadinya penyakit
diabetes melitus,.?
14.
Bagaimana cara menjaga kesehatan anak baru lahir,.?
15.
Bagaimana cara memulihkan psikologis anak yang terlanjur rusak,.?
16.
Bagaimana cara mengajarkan seks diusia dini,.?
17.
Apa yang harus dilakukan agar HIV/AIDS tidak menyerang putera –
puteri Indonesia,.?
18.
Mungkinkah kesehatan bisa menyeluruh di bumi Indonesia,.?
Tugas 2
Mencatat latar
belakang yang berhubungan dengan data Nasional dan provinsi..
Judul : HUBUNGAN PEMBERIAN PENDIDIKAN SEKS SEJAK
DINI DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA DI SMA NEGERI 13 PANDEGLANG TAHUN 2009
1.
Data Nasional
Hasil
penelitian di sejumlah kota besar di Indonesia menunjukkan sekitar 20% sampai
30% remaja mengaku pernah melakukan hubungan seks (DUTA, Edisi No. 230/
Th.XVIII/ September 2006). Maka jangan heran kehamilan pranikah semakin sering
terjadi. Disinyalir jumlah angka (persentase) yang sesungguhnya jauh lebih
besar daripada data yang tercatat (Pasti, 2008).
2.
Data Provinsi
Berdasarkan
sumber dari Hanifah (2000), bahwa beberapa hasil penelitian di Indonesia
menunjukan adanya penurunan batas usia hubungan seks pertama kali. Menurut
Iskandar (1998) sebanyak 18% responden di Jakarta berhubungan seks pertama di
bawah usia 18 tahun dan usia termuda 13 tahun. Sedangkan menurut Utomo (1998),
menyatakan bahwa remaja Manado yang sudah aktif secara seksual, melakukan
hubungan seks pertama pada usia di bawah 16 tahun sebanyak 56,8% pada remaja pria
dan 33,3% pada remaja putri (Sarwono, 2007).
Tugas 3
Jurnal
HUBUNGAN PEMBERIAN PENDIDIKAN SEKS SEJAK DINI
DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA DI SMA
NEGERI 13 PANDEGLANG TAHUN 2009
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sering kali dengan
gampang orang mendefinisikan remaja sebagai periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa, masa usia
belasan tahun, atau seseorang yang menunjukan
tingkah laku tertentu seperti susah diatur, mudah terangsang perasaannya, dan sebagainya. Masalahnya
sekarang, kita tidak pernah berhenti dengan hanya
menyatakan bahwa mendefinisikan remaja itu sulit. Sulit atau mudah,
masalah-masalah yang menyangkut kelompok remaja kian hari kian bertambah.
Berbagai tulisan, ceramah, maupun seminar yang mengupas berbagai segi kehidupan
remaja, termasuk kenakalan remaja, perilaku seksual remaja, dan hubungan remaja
dengan orang tuanya, menunjukkan betapa seriusnya masalah ini dirasakan oleh
masyarakat (Sarwono, 2007).Sarwono (2007) menyatakan bahwa perubahan-perubahan
fisik yang terjadi pada perkembangan jiwa remaja yang terbesar pengaruhnya
adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi semakin panjang dan tinggi).
Selanjutnya, mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada
wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang
tumbuh sehingga menyebabkan mudahnya aktivitas seksual (terutama dikalangan
remaja) dilanjutkan dengan hubungan seks (Sarwono 2007 dan Pasti, 2008).
Hasil penelitian di sejumlah kota besar di Indonesia menunjukkan
sekitar 20% sampai 30% remaja mengaku pernah melakukan hubungan seks (DUTA,
Edisi No. 230/ Th.XVIII/ September 2006). Maka jangan heran kehamilan pranikah
semakin sering terjadi. Disinyalir jumlah angka (persentase) yang sesungguhnya jauh
lebih besar daripada data yang tercatat (Pasti, 2008).Berdasarkan sumber dari
Hanifah (2000), bahwa beberapa hasil penelitian di Indonesia menunjukan adanya
penurunan batas usia hubungan seks pertama kali. Menurut Iskandar (1998)
sebanyak 18% responden di Jakarta berhubungan seks pertama di bawah usia 18
tahun dan usia termuda 13 tahun. Sedangkan menurut Utomo (1998), menyatakan
bahwa remaja Manado yang sudah aktif secara seksual, melakukan hubungan seks
pertama pada usia di bawah 16 tahun sebanyak 56,8% pada remaja pria dan 33,3%
pada remaja putri (Sarwono, 2007).
Dr. Boyke Dian Nugraha, pakar seks dan spesialis Obstetri dan
Ginekologi, menyatakan bahwa penyebabnya antara lain maraknya pengedaran gambar
dan VCD porno, kurangnya pemahaman akan nilai-nilai agama, keliru dalam
memaknai cinta, minimnya pengetahuan remaja tentang seksualitas serta belum
adanya pendidikan seks secara reguler hingga formal di sekolah-sekolah. Itulah
sebabnya informasi tentang makna hakiki cinta dan adanya kurikulum kesehatan reproduksi
di sekolah mutlak di perlukan (Pasti, 2008).Harus diakui, sampai saat ini di
kalangan masyarakat tertentu, bebicara soal seks masih dianggap masalah yang
tabu. Seks belum menjadi wacana publik. Pro kontra masih saja ada. Oleh karena
itu, jarang sekali di jumpai pembicaraan perihal seks secara terbuka. Namun
disisi lain (fakta yang tidak terbantahkan), masalah seks juga berjalan terus.
Untuk itu, sosialisasi pemahaman tentang makna hakiki cinta dan perlunya
kurikulum kesehatan reproduksi di sekolah sangat perlu sebagai salah satu
alternatif yang dapat ditempuh untuk memfilter perilaku destruktif seksual
remaja (Pasti, 2008).
Rasa ingin tahu terhadap masalah seksual pada remaja sangat penting
dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Pada masa
remaja, informasi tentang masalah seksual sudah seharusnya mulai diberikan
supaya remaja tidak mendapatkan informasi yang salah dari sumber-sumber yang
tidak jelas. Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi
mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan
dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan tidak cukupnya informasi
mengenai aktifitas seksual mereka sendiri. Tentu saja hal tersebut akan sangat
berbahaya bagi perkembangan jiwa remaja bila tidak didukung dengan pengetahuan
dan informasi yang tepat (Glevinno, 2008).
Pengetahuan remaja tentang seks masih sangat kurang. Faktor ini
ditambah dengan informasi keliru yang diperoleh dari sumber yang salah, seperti
mitos seputar seks, VCD porno, situr porno di internet, dan lainnya akan
membuat pemahaman dan persepsi anak tentang seks menjadi salah. Pendidikan seks
sebenarnya berarti pendidikan seksualitas yaitu suatu pendidikan seksual dalam
arti luas yang meliputi berbagai aspek yang berkaitan dengan seks, diantaranya
aspek biologis, orientasi, nilai sosiokultur dan moral serta perilaku.
Terlepas dari pro dan kontra pemblokiran situs porno yang sempat
marak diberitakan di berbagai media. Di era globalisasi sekarang ini pengenalan
seks sejak dini dirasa cukup penting, mengingat anak-anak dengan mudah mendapat
informasi dari berbagai media seperti majalah, buku, TV, VCD dan Internet.
Sebagai orang tua, tentunya tidak menginginkan anak-anaknya mencari pengetahuan
tentang seks dengan caranya sendiri
seperti mengakses situs-situs porno atau menonton VCD porno dan
lain-lain. Penelitian ini di fokuskan pada Hubungan Pemberian Pendidikan Seks
Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual Pada Remaja Di SMA Negeri 13 Pandeglang.
Berdasarkan hasil pra survei dan wawancara tentang pemberian pendidikan seks
dengan perilaku seksual pada remaja yang peneliti lakukan kepada 20 siswa dan
siswi dari 208 siswa di SMA Negeri 13 Pandeglang secara keseluruhan di dapat
sebanyak 8 orang mengetahui tentang arti pentingnya pendidikan seks, dan 12
orang mengatakan belum pernah mendapatkan informasi tentang pendidikan seks dan
mereka mengatakan tabu untuk tidak membicarakan hal tersebut.
Berdasarkan latar belakang dan fenomena di atas, maka selanjutnya
penulis tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut dengan judul “Hubungan
Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual Pada Remaja Di SMA
Negeri 13 Pandeglang Tahun 2009”.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah dalam
penelitian ini adalah Bagaimana Hubungan Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual Pada Remaja di
SMA Negeri 13 Pandeglang Tahun 2009?
C.
Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Umum
Tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk Mengetahui Hubungan
Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual Pada Remaja Di SMA
Negeri 13 Pandeglang Tahun 2009.
2.
Tujuan Khusus
a.
Untuk mengetahui gambaran tentang pemberian pendidikan seks sejak
dini pada remaja di SMA Negeri 13 Pandeglang tahun 2009.
b.
Untuk mengetahui gambaran tentang perilaku seksual pada remaja di
SMA Negeri 13 Pandeglang tahun 2009.
c.
Untuk mengetahui hubungan antara pemberian pendidikan seks sejak
dini dengan perilaku seksual pada remaja
di SMA Negeri 13 Pandeglang tahun 2009.
D.
Manfaat Penelitian
1.
Institusi STIKes Faletehan
a.
Memberikan masukan dan informasi tentang pentingnya pengetahuan
pendidikan seks bagi remaja.
b.
Menambah studi kepustakaan tentang pendidikan seks sehingga dapat
dijadikan masukkan dalam penelitian selanjutnya.
2.
SMA Negeri 13 Pandeglang
a.
Memberikan informasi tentang pendidikan seks sehingga tidak
menimbulkan penyimpangan perilaku seksual pada remaja.b. Sebagai bahan
pengkajian dan pengembangan kurikulum terutama penilaian tentang pendidikan
seks khususnya pada remaja.
3.
Peneliti
Untuk peningkatan pengalaman dan wawasan bagi peneliti sendiri
dalam menganalisa hubungan pemberian pendidikan seks sejak dini dengan perilaku
seksual pada remaja, serta sebagai bahan referensi untuk peneliti selanjutnya.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Pemberian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, bahwa yang
dimaksud dengan pemberian adalah sesuatu yang diberikan atau sesuatu yang
didapat dari orang lain karena diberi (Diknas, 2005).
B.
Pendidikan
1.
Konsep Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan konsep pendidikan di
dalam bidang kesehatan. Dilihat dari segi pendidikan, pendidikan kesehatan
adalah suatu pedagogik praktis atau praktek pendidikan. Oleh sebab itu, konsep
pendidikan kesehatan adalah konsep pendidikan yang di aplikasikan pada bidang
kesehatan. Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti
didalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan
kearah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu,
kelompok atau masyarakat. Konsep ini berangkat dari suatu asumsi bahwa manusia
sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya untuk mencapai nilai-nilai hidup didalam masyarakat selalu memerlukan
bantuan orang lain yang mempunyai kelebihan (lebih dewasa, lebih pandai, lebih
mampu, lebih tahu dan sebagainya). Dalam mencapai tujuan tersebut, seorang
individu, kelompokatau masyarakat tidak terlepas dari kegiatan belajar
(Notoatmodjo, 2003).
2.
Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan
Ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari berbagai
dimensi, antara lain dimensi sasaran pendidikan, dimensi tempat pelaksanaan
atau aplikasinya dan dimensi tingkat pelayanan kesehatan. Dari dimensi
sasarannya, pendidikan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi 3 diantaranya:
a.
Pendidikan kesehatan individual dengan sasaran individu.
b.
Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok.
c.
Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat luas.
Dimensi tempat
pelaksanaannya, pendidikan kesehatan dapat berlangsung di berbagai tempat,
dengan sendirinya sasarannya berbeda pula, misalnya:
a.
Pendidikan kesehatan disekolah, dilakukan disekolah dengan sasaran
murid.
b.
Pendidikan kesehatan di rumah sakit, dilakukan di rumah sakit-rumah
sakit dengan sasaran pasien atau keluarga pasien, di Puskesmas dan sebagainya.
c.
Pendidikan kesehatan ditempat-tempat kerja dengan sasaran buruh
atau karyawan yang bersangkutan.
Dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dapat
dilakukan berdasarkan lima tingkat pencegahan (five levels of prevention) dari
Leavel dan Clark, sebagai berikut:
a.
Promosi Kesehatan (Health Promotion)
Dalam tingkat
ini pendidikan kesehatan diperlukan misalnya dalam peningkatan gizi, kebiasaan
hidup, perbaikan sanitasi lingkungan hygiene perorangan dan sebagainya.
b.
Perlindungan Khusus (Specifik Protection)
Dalam program
imunisasi sebagai bentuk pelayanan perlindungan khusus ini pendidikan kesehatan
sangat diperlukan terutama dinegara-negara berkembang. Hal ini karena kesadaran
masyarakat tentang pentingnya imunisai sebagai perlindungan terhadap penyakit
pada dirinya maupun pada anak-anaknya masih rendah.
c.
Diagnosis Dini dan Pengobatan Segera (Early Diagnosis and Prompt
Treatment)
Dikarenakan
rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan penyakit,
maka sering sulit mendeteksi penyakit-penyakit yang terjadi didalam masyarakat,
bahkan kadang-kadang masyarakat sulit atau tidak mau diperiksa dan diobati
penyakitnya. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak memperoleh pelayanan
kesehatan yang layak. Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan sangat diperlukan
pada tahap ini.
d.
Pembatasan Cacat (Disability Limitation)
Oleh karena
kurangnya pengertian dan kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan penyakit,
maka sering masyarakat tidak melanjutkan pengobatannya sampai tuntas. Dengan
kata lain mereka tidak melakukan pemeriksaan dan pengobatan yang komplit
terhadap penyakitnya. Pengobatan yang tidak layak dan sempurna dapat
mengakibatkan orang yang bersangkutan cacat atau ketidakmampuan.
e.
Rehabilitasi (Rehabilitation)
Setelah sembuh
dari suatu penyakit tertentu, kadang-kadang orang menjadi cacat. Untuk
memulihkan cacatnya tersebut kadang-kadang diperlukan latihan-latihan tertentu.
Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran orang tersebut, ia tidak atau
segan melakukan latihan-latihan yang dianjurkan. Disamping itu orang yang cacat
setelah sembuh dari penyakit, kadang-kadang malu untuk kembali ke masyarakat
(Notoatmodjo, 2003).
3.
Peranan Pendidikan Kesehatan
Semua ahli kesehatan masyarakat dalam membicarakan status kesehatan
mengacu kepada H. L. Blum. Dari hasil penelitiannya di Amerika Serikat sebagai
salah satu negara yang sudah maju Blum menyimpulkan bahwa lingkungan mempunyai
andil yang paling besar terhadap status kesehatan. Kemudian berturut-turut
disusul oleh perilaku mempunyai andil nomor dua, pelayanan kesehatan dan
keturunan mempunyai andil yang paling kecil terhadap status kesehatan
(Notoatmodjo, 2003).
C.
Usia Dini
Istilah pembelajar ’usia dini’ dapat ditafsirkan beragam. Istilah
’usia dini’ dapat merujuk pada usia anak-anak. Namun istilah ini dapat pula
merujuk pada bagian dari usia anak-anak. Untuk mendapatkan kesamaan sudut
pandang dalam bahasan pada makalah ini, istilah ’usia dini’ perlu diberi
batasan terlebih dahulu.Salah satu bentuk kepedulian Pemerintah dan lembaga
kenegaraan lain terhadap anak-anak sebagai generasi penerus bangsa tercermin
pada upaya dengan telah diterbikannya piranti legal formal yang mengatur
pengertian anak dan usia dini. Pada Undang Undang Pelindungan Anak UU PA Bab I
pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Sedangkan menurut UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dalam Bab 1 pasal 1 ayat 14, yang dimaksud anak usia dini adalah
mereka yang berusia antara 0-6 tahun. Batasan tersebut di atas jelas menegaskan
bahwa anak usia dini adalah bagian dari usia anak.Para ahli di Tufts University
merinci 4 kategori, yaitu bayi (0-2), usia dini (2-6), kanak-kanak (6-13), dan
remaja (13-16). Dua kelompok pertama pada katagori ini mencakup pengertian
pembelajar usia dini seperti yang digariskan dalam UU No 20 tahun 2003.
Semetara itu, Scott dan Ytreberg (1990:1) menyebut batasan usia 5 hingga 11
tahun sebagai pembelajar muda (young learners). Slattery dan Willis (2001:17)
mengajukan 2 kelompok kategorisasi: pembelajar sangat muda (< 7) dan
pembelajar muda (> 7 tahun). Meskipun tidak menyebut secara eksplisit,
kategorisasi terakhir ini mencakup pembelajar kanak-kanak namun mengesampingkan
pembelajar remaja. Apabila interpretasi ini benar, maka pembelajar muda dalam
kategori ini meliputi mereka yang memiliki usia antara 7-13 tahun. Batasan ini
mendekati batasan yang disebut oleh Scott dan Ytreberg (1990:1).
Dalam diskusi ini yang dimaksud usia dini adalah mereka yang
berusia lebih dari 2 tahun. Bayi, yaitu mereka yang berusia 0-2 tahun, tidak
dimasukkan dalam batasan ini. Dari segi pemerolehan bahasa, penanganan
keterbatasan perkembangan bahasa bayi lebih banyak merupakan ranah ahli-ahli
lain selain praktisi guru, misalnya dokter anak, speech therapist, atau ahli
lainnya. Juga, untuk kepraktisan jangkauan pembahasan dan keteraplikasian
pembahasaan dalam tulisan ini, pengertian pembelajar usia dini secara luwes
dapat juga ditafsirkan pembelajar yang termasuk memiliki usia antara 7-13
tahun.
Dengan batasan ini, yang dimaksud pembelajar usia dini adalah
mereka yang berusia > 2 namun berusia < 13 tahun. Batasan ini sesuai
dengan batasan yang dikemukakan oleh Brumfit, Moon dan Tongue (1991:v). Dalam
jenjang pendidikan batas terendah usia dini dalam pengertian ini ádalah mereka
yang memulai atau duduk di taman kanak-kanak atau kelompok bermain, sedangkan
jenjang pendidikan tertingginya adalah kira-kira mereka yang duduk di jenjang
sekolah dasar kelas enam.
Pendidikan anak usia dini adalah upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa bagi mereka yang berusia antara 0-6 tahun, yaitu upaya pembinaan yang
dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan
dan perkembangan jasmani rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lanjut (UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab
1 pasal 1 ayat 14). Bentuk penyelenggaraan pendidikan anak usia dini dapat
dilakukan melalui berbagai cara. Menurut Pasal 28, pendidikan anak usia dini
dapat diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar baik melalui jalur
pendidikan formal, yang dapat berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul
Athfal, atau yang sederajat; non formal, yang dapat berbentuk Kelompok Bermain
(KB) atau Taman Penitipan Anak (TPA) dan jalur pendidikan informal yang berbentuk
pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan masyarakat.
Dalam pembahasan pada skripsi ini, pembelajaran bilingual pada
pendidikan anak usia dini dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai modus
pendidikan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 28 tersebut di atas. Namun
demikian, sesuai dengan batasan tentang pengertian usia dini yang digunakan
dalam tulisan ini seperti yang dikemukakan di bagian sebelumnya, pendidikan
setingkat sekolah dasar dapat juga digunakan sebagai modus pembelajaran
bilingual (Paud, 2008).
D.
Seksual
1.
Definisi Seksual
Menurut Zawid (1994) seksualitas sulit untuk di definisikan karena
seksualitas memiliki aspek kehidupan kita dan diekspresikan melalui beragam
perilaku. Seksualitas bukan semata-mata bagian intrinsik dari seseorang tetapi
juga meluas sampai berhubungan dengan orang lain. Keintiman dan kebersamaan
fisik merupakan kebutuhan sosial dan biologis sepanjang kehidupan. Kesehatan
seksual telah didefinisikan sebagai pengintegrasian aspek somatik, emosional,
intelektual dan sosial dari kehidupan seksual, dengan cara yang positif
memperkaya dan meningkatkan kepribadian, komunikasi dan cinta. Seks juga
digunakan untuk memberi label jender, baik seseorang itu pria atau wanita .
Pendapat Denney dan Quadagno (1992) dan Zawid (1994) seksualitas
dilain pihak adalah istilah yang lebih luas. Seksualitas berhubungan dengan
bagaimana seseorang mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada orang lain
melalui tindakan yang di lakukannya, seperti sentuhan, ciuman, pelukan,
senggama seksual dan melalui perilaku yang lebih halus seperti isyarat gerak
tubuh, etiket, berpelukan dan perbendaraan kata.
2.
Bentuk Perilaku Seksual
Transeksual adalah orang yang identitas seksual atau jendernya
berlawanan dengan seks biologinya. Seorang pria mungkin berfikir tentang
dirinya sebagai seorang wanita dalam tubuh wanita. Perasaan terperangkap
seperti ini disebut disforia jender. Para peneliti tidak memahami dengan jelas
sifat atau penyebab dari saling-silang. Penjelasannya mencakup teori biologis
dan pembelajaran sosial. Para penganut transeksual tidak melihat identitas
seksual mereka sebagai suatu pilihan. Identifikasi mereka tentang diri mereka
sebagai wanita dan pria, seksual dan sosial adalah jelas dan persisten dan
seiring sejak masa kanak-kanak dini.
Menurut Seidel (1991), transvestit adalah pria heteroseksual yang
secara periode berpakaian seperti wanita untuk pemuasan psikologis dan seksual.
Transvestit umumnya melakukan hal ini dalam lingkup pribadi dan perilaku mereka
kadang bersifat rahasia bahkan dari orang yang sangat dekat dengan mereka
sekalipun.
3.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seksual
Kolodny, Master dan Johnson (1979) menyatakan bahwa keinginan
seksual beragam diantaranya individu, sebagian orang menginginkan dan menikmati
seks setiap hari. Sementara yang lainnya menginginkan seks hanya sekali satu
bulan dan yang lainnya lagi tidak memiliki keinginan seks sama sekali dan cukup
merasa nyaman dengan fakta tersebut. Keinginan seksual menjadi masalah jika
klien semata-mata menginginkan untuk melakukannya pada beberapa norma kultur
atau jika perbedaan dalam keinginan seksual dari pasangan menyebabkan konflik.
a.
Faktor Fisik
Klien dapat mengalami penurunan keinginan seksual karena alasan
fisik. Aktivitas seksual dapat menyebabkan nyeri dan ketidaknyamanan. Bahkan
hanya membayangkan bahwa seks dapat menyakitkan sudah menurunkan keinginan
seks. Penyakit minor dan keletihan adalah alasan seseorang untuk tidak
merasakan seksual. Citra tubuh yang buruk, terutama jika diperburuk oleh
perasaan penolakan atau pembedahan yang mengubah bentuk tubuh, dapat
menyebabkan klien kehilangan perasaannya secara seksual.
b.
Faktor Hubungan
Masalah dalam berhubungan dengan mengalihkan perhatian seseorang
dari keinginan seks. Setelah kemesraan hubungan telah mundur, pasangan mungkin
mendapati bahwa mereka dihadapkan pada perbedaan yang sangat besar dalam nilai
atau gaya hidup mereka. Keterampilan seperti ini memainkan peran yang sangat
penting ketika menghadapi keinginan seksual dalam berhubungan. Penurunan minat
dalam aktifitas seksual dapat mengakibatkan ansietas hanya karena harus
mengatakan kepada pasangan perilaku seksual apa-apa yang diterima atau
menyenangkan.
c.
Faktor Gaya Hidup
Faktor gaya hidup, seperti penggunaan atau penyalahgunaan alkohol
dapat mempengaruhi keinginan seksual. Namun demikian, banyak bukti sekarang ini
menunjukkan bahwa efek negatif alkohol terhadap seksual jauh melebihi euforia
(perasaan yang berlebihan) yang mungkin dihasilnya. Pada awalanya menemukan
waktu yang tepat untuk aktivitas seksual adalah faktor gaya hidup. Klien
seperti ini sering mengungkapkan bahwa mereka perlu waktu untuk menyendiri,
berfikir dan istirahat sebagai hal yang lebih penting dari seks.
d.
Faktor Harga Diri
Tingkat harga diri juga dapat menyebabkan konflik yang melibatkan
seksualitas. Jika harga diri seksual tidak pernah diperlihatkan dengan
mengembangkan perasaan yang kuat tentang seksual diri dan dengan mempelajari
keterampilan seksual, seksual mungkin menyebabkan perasaan negatif atau
menyebabkan tekanan perasaan seksual. Harga diri seksual dapat menurun didalam
banyak cara, yaitu perkosaan, inses dan penganiayaan fisik atau emosi
meninggalkan luka yang dalam (Herdiana, 2007).
4.
Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual Pada Remaja1.
Pendidikan Seks
a.
Pengertian
Pendidikan seks dapat diartikan sebagai penerangan tentang anatomi
fisiologi seks manusia, bahaya penyakit kelamin. Pendidikan seks adalah
membimbing serta mengasuh seseorang agar mengerti tentang arti, fungsi dan
tujuan seks, sehingga ia dapat menyalurkan secara baik, benar dan legal.
Pendidikan seks dapat dibedakan antara sex instruction dan education in
sexuality. Sex instruction ialah penerangan mengenai anatomi, seperti
pertumbuhan rambut pada ketiak, dan mengenai biologi dari reproduksi, yaitu
proses berkembang biak melalui hubungan untuk mempertahankan jenisnya. Termasuk
didalamnya pembinaan keluarga dan metode kontrasepsi dalam mencegah terjadinya
kehamilan. Education in sexuality meliputi bidang-bidang etika, moral,
fisiologi, ekonomi dan pengetahuan lainnya yang di butuhkan agar seseorang
dapat memahami dirinya sendiri sebagai individual seksual, serta mengadakan
hubungan interpersonal yang baik.
Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau
mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif
yang tidak di harapkan, seperti kehamilan yang tidak di rencanakan, penyakit
menular seksual, depresi dan perasaan berdosa (Sarwono, 2007).
b.
Pendidikan Seks Sejak DiniSecara garis besar, Boyke membagi
pendidikan seks bagi anak berdasarkan usia ke dalam empat tahap yakni usia 1-4
tahun, usia 5-7 tahun, 8-10 tahun dan usia 10-12 tahun.
Pada usia 1 sampai 4 tahun, orangtua disarankan mulai
memperkenalkan anatomi tubuh, termasuk alat genital. Perlu juga ditekankan pada
anak bahwa setiap orang adalah ciptaan Tuhan yang unik dan berbeda satu sama
lain. ”Kenalkan, ini mata, ini kaki, ini vagina”. Itu tidak apa-apa. Terangkan
bahwa anak laki-laki dan perempuan diciptakan Tuhan berbeda, masing-masing
dengan keunikannya sendiri.
Sedangkan pada usia 5 sampai 7 tahun, rasa ingin tahu anak tentang
aspek seksual biasanya meningkat. Mereka akan menanyakan kenapa temannya
memiliki organ-organ yang berbeda dengan dirinya sendiri. Rasa ingin tahu itu
merupakan hal yang wajar. Karena itu, orang tua diharapkan bersikap sabar dan
komunikatif, menjelaskan hal-hal yang ingin diketahui anak. Terangkan, bedanya
anak laki-laki dan perempuan. Orang tua
harus dengan sabar memberikan penjelasan pada anak.
Selanjutnya, pada usia 8 sampai 10 tahun, anak sudah mampu
membedakan dan mengenali hubungan sebab akibat. Pada fase ini, orang tua sudah
bisa menerangkan secara sederhana proses reproduksi, misalnya tentang sel telur
dan sperma yang jika bertemu akan membentuk bayi.
Pada usia 11 sampai 13 tahun, anak sudah mulai memasuki pubertas.
Ia mulai mengalami perubahan fisik, dan mulai tertarik pada lawan jenisnya. Ia
juga sedang giat mengeksplorasi diri. Anak perempuan, misalnya, akan mulai
mencoba-coba alat make up ibunya. Pada tahap inilah, menurut Boyke, peran orang
tua amat sangat penting. Orang tua harus menerima perubahan diri anaknya
sebagai bagian yang wajar dari pertumbuhan seorang anak-anak menuju tahap
dewasa dan tidak memandangnya sebagai ketidakpantasan atau hal yang perlu
disangkal.
c.
Perlunya Pendidikan Seks
Perbedaan pandangan tentang perlunya pendidikan seks bagi remaja
nyata dari penelitian WHO (Word Health, 1979) di enam belas negara Eropa, yang
hasilnya ialah sebagai berikut:
© 5 negara mewajibkannya
di setiap sekolah,
© 6 negara
menerima dan mensahkannya dengan undang-undang tetapi tidak mengharuskannya di
setiap sekolah,
© 2 negara secara
umum menerima pendidikan seks, tetapi tidak mengukuhkannya dengan
undang-undang, dan
© 3 negara tidak
melarang, tetapi juga tidak mengembangkannya.
Pandangan yang mendukung pendidikan seks antara lain di ajukan oleh
Zelnik dan Kim (1982) yang menyatakan bahwa remaja yang telah mendapat pendidikan
seks tidak cenderung lebih sering melakukan hubungan seks, tetapi mereka yang
belum pernah mendapat pendidikan seks cenderung lebih banyak mengalami
kehamilan yang tidak di kehendaki. (Sarwono, 2007).
Peneliti berpendapat bahwa pendidikan seks bukanlah penerangan
tentang seks semata-mata. Pendidikan seks, sebagaimana pendidikan lain pada
umumnya seperti pendidikan agama, atau pendidikan Moral Pancasila, yang
mengandung pengalihan nilai-nilai dari pendidik ke subjek-didik. Dengan
demikian, informasi tentang seks diberikan secara kontekstual, yaitu dalam
kaitannya dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat (Sarwono, 2007).
Pendidikan seks yang kontekstual ini jadinya mempunyai ruang lingkup yang
luas. Tidak terbatas pada perilaku
hubungan seks semata tetapi menyangkut pula hal-hal lain, seperti peran pria
dan wanita dalam anak-anak dan keluarga, dan sebagainya (Sarwono, 2007).
E.
Perilaku
1.
Pengertian Perilaku
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang
dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Skiner
seorang ahli psikologi mengemukakan bahwa perilaku merupakan respons atau
reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Perilaku ini
terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian
organisme tersebut merespon. Skiner membedakan adanya dua respons, diantaranya
adalah:
a.
Respondent Respons, merupakan respons yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut
elicting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap.
b.
Operant Respons, merupakan respons yang timbul dan berkembang
kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut
reinforcing stimulation atau reinforcer, karena memperkuat respons.Seperti
telah dijelaskan diatas, sebagian besar perilaku manusia adalah operant
response. Oleh sebab itu, untuk membentuk jenis respon atau perilaku perlu
diciptakan adanya suatu kondisi tertentu yang disebut operant conditioning.
Prosedur pembentukan perilaku dalam operant
conditioning menurut Skiner adalah sebagai berikut:
© Melakukan
identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinforcer berupa
hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk.
© Melakukan
analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk perilaku
yang di kehendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut disusun dalam urutan
yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud.
© Menggunakan
secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan-tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau
hadiah untuk masing-masing komponen tersebut.
© Melakukan
pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang telah tersusun
(Notoatmodjo, 2003).
Menurut teori Lawrence Green, mengemukakan bahwa
perilaku manusia dari tingkat kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi
oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar
perilaku (non-behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan
atau terbentuk dari 3 faktor, diantaranya:
© Faktor-faktor
predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan lain-lain.
© Faktor-faktor
pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia
atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan,
misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban dan lain-lain.
© Faktor-faktor
pendorong (renforcing factor), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas
kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat. (Notoatmodjo, 2003).
2.
Perilaku Seksual
Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang di dorong oleh
hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis.
Bentuk-bentuk perilaku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik
sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama. (Sarwono, 2007).
a.
Perilaku Seksual Normal
Maramis (1999),
menyatakan bahwa perilaku seksual normal ini dapat menyesuaikan diri, bukan
saja dengan tuntutan masyarakat, tetapi juga dengan kebutuhan individu mengenai
kebahagiaan, perwujudan diri sendiri, atau peningkatan kemampuan individu untuk
mengembangkan kepribadiannya menjadi lebih baik.
Pendapat
Kartini Kartono (1989), yang dimaksud dengan perilaku seksual yang normal
mengandung pengertian sebagai berikut:
© Hubungan
seksual yang tidak menimbulkan efek-efek merugikan, baik bagi diri maupun bagi
partnernya.
© Tidak
menimbulkan konflik psikis, tidak bersifat paksaan atau perkosaan.
b.
Perilaku Seksual Normal Dan Bertanggung Jawab
Perilaku
seksual yang bertanggung jawab mengandung pengertian bahwa kedua belah pihak
menyadari akan konsekuensinya dan berani memikul tanggung jawabnya, serta
mewajibkan manusia melakukan seks melalui ikatan perkawinan yang sah.
c.
Perilaku Seksual Abnormal
Menurut Kartini
Kartono (1989), bentuk relasi seks yang abnormal dan perverse (buruk, jahat)
adalah relasi seks yang tidak bertanggung jawab, yang di dorong oleh
kompulsi-kompulsi dan dorongan-dorongan yang abnormal. Pendapat Maramis (1999),
menyatakan bahwa perilaku seksual normal ini dapat menyesuaikan diri, bukan
saja dengan tuntutan masyarakat, tetapi juga dengan kebutuhan individu mengenai
kebahagiaan, perwujudan diri sendiri, atau peningkatan kemampuan individu untuk
mengembangkan kepribadiannya menjadi lebih baik. (Sunaryo, 2004).
3.
Perilaku Menyimpang Pada Remaja
a.
Onani
Kelainan
perilaku seks biasanya dilakukan oleh laki-laki yang merasa ingin memenuhi
kebutuhan seksnya, dilakukan dengan cara mengeluarkan air mani oleh tangan.
Biasanya dilakukannya dengan sembunyi-sembunyi atau pada waktu tidur. Onani
bisa mengakibatkan lemah syahwat bahkan melemahkan sperma sehingga tidak
sanggup membuahi sel telur wanita. Efek samping lain dari onani ini adalah efek
psikologisnya dimana si pelaku sering merasa berdosa sehingga menimbulkan
psikoneurosa atau gangguan kejiwaan.
b.
Homoseksual (Homosexuality)
Kelainan
perilaku seks yang dilakukan oleh dua individu yang berjenis kelamin sama
dinamakan homoseksual. Laki-laki dengan laki-laki dinamakan male sexuality atau lebih umum
disebut homoseksual saja. Wanita dengan wanita disebut lesbians.
Menurut Dr.
Rono Sulistyo (1977), ada tiga macam homoseksual, diantaranya adalah sebagai
berikut:
© Aktif,
bertindak sebagai pria dan tidak bertanggung jawab kepada teman seksnya.
© Pasif, yaitu
bertindak sebagai wanita.
© Campuran, yaitu
kadang-kadang sebagai pria dan kadang-kadang sebagai wanita.
Sebab-sebab
terjadinya perbuatan homoseks itu ialah:
© Faktor
hereditas (dibawa sejak lahir), ini jarang sekali terjadi.
© Adanya
ketidakseimbangan hormon seks (sex hormonal
imbalance).
© Pengaruh
lingkungan, seperti: Terpisah dari lawan jenis dalam jangka waktu yang lama,
misalnya di penjara dan di asrama; Pengalaman hubungan seks dengan sesama jenis
pada waktu kecil (masa kanak-kanak), dengan istilah sodomi; Kesalahan
perlakuan, yakni anak laki-laki yang hidup di rumah tangga dimana semua
saudaranya perempuan. Jika anak ini diperlakukan sebagai anak perempuan setiap
harinya misalnya dibedaki, diberi pakaian wanita, dan lain-lain. Maka akan
tumbuh sifat-sifat kewanitaan pada dirinya (merasa diri sebagai jenis kelamin
wanita); Hubungan seks yang tidak memuaskan di dalam kehidupan suami istri.
Untuk
menyembuhkan penderita seperti yang terpenting ialah adanya kesadaran diri dari
penderita tersebut untuk memperbaiki diri. Disamping itu, pengobatan/ terapi
akan berhasil bila lingkungannya di ubah sedemikian rupa.
c.
Pelacuran
Pengertian
pelacuran ialah perilaku seks bebas yang dilakukan secara tidak sah menurut
hukum dan agama, yang terjadi di dalam masyarakat. Biasanya wanita yang
melakukan di sebut wanita pelacur, dan laki-laki dinamakan pria hidung belang.
Wanita pelacur ini berkeliaran di waktu malam di taman-taman, di pinggir jalan
dan tempat-tempat tertentu lainnya untuk menanti laki-laki yang akan
menjemputnya. Tingkatan pelacur ini dinamakan pelacuran tingkat rendah. Di
samping itu ada lagi pelacur tingkat tinggi yaitu mempunyai rumah sendiri, atau
dihotel-hotel kelas wahid.Usaha mengatasi pelacuran dengan jalan menampung
kegiatan mereka di tempat-tempat yang disediakan secara khusus, belumlah pasti
akan dapat menyelesaikan masalahnya. Bahkan bukan tidak mungkin dengan cara
lokalisasi itu pelacuran akan lebih pesat perkembangannya. Yang terpenting
dalam usaha menanggulangi pelacuran itu ialah dengan jalan mengetahui
sebab-sebab terjadinya, meningkatkan sanksi/ hukum bagi si pelakunya dan
menyalurkan wanita-wanita pelacur itu kepada kegiatan-kegiatan yang bermanfaat
bagi dirinya dan masyarakat. Pada umumnya sebab-sebab terjadinya pelacuran
adalah sebagai berikut:
© Rendahnya taraf
kehidupan ekonomi rakyat.
© Banyaknya
pengaruh barang-barang mewah sehingga mendorong orang untuk memilikinya.
© Kehidupan rumah
tangga yang tidak harmonis baik di bidang pergaulan, ekonomi atau hubungan seks
yang tidak memuaskan.
© Meningkatkan
film-film dan VCD porno, gambar-gambar cabul di masyarakat dimana penggemarnya
sebagian besar adalah remaja sekolah.
Dengan
mengetahui sebab-sebab terjadinya akan lebih mudah bagi kita untuk mengatasinya
daripada hanya dengan cara yang berdasarkan selera orang-orang atau kelompok
tertentu yang sudah terpengaruh oleh cara-cara negara Barat yang tidak
Pancasilais.
d.
Pornografi dan Pornoaksi
Hal-hal yang
berusaha untuk merangsang dorongan seks dengan tulisan atau gambar. Pengaruhnya
cepat meluas terutama dikalangan remaja yang sedang berada pada masa pubertas.
Hal ini bisa berakibat menimbulkan krisis moral dikalangan remaja itu, terutama
apabila dasar-dasar agama kurang sekali dilatihkan sejak kecil. Usaha
pornografi dapat juga melemahkan potensi bangsa sebab akibatnya dapat merusak
sendi-sendi falsafah Pancasila.
e.
Bestiality
Mengadakan
hubungan seks dengan binatang. Ini sering kejadian di daerah-daerah pertanian
dimana jumlah wanita agak kurang. Kadang-kadang dianggap bahwa hal ini dapat
disamakan dengan onani atau masturbasi.
f.
Gerontoseksual
Kecenderungan
untuk melakukan hubungan kelamin dengan wanita-wanita yang lebih tua atau yang
lanjut usianya. Hal ini mungkin disebabkan pertimbangan-pertimbangan ekonomi
atau karena keinginan wanita-wanita itu untuk memperoleh kepuasan seks dari
yang lebih muda dari suaminya.
g.
Incest
Hubungan
kelamin terjadi antar dua orang di luar nikah sedangkan mereka adalah
berkerabat dekat sekali. Hal ini sering terjadi pada masyarakat yang taraf
kehidupannya amat rendah, dan juga keluarga yang pecah (broken home). Hal ini
disebabkan karena pada keluarga ini kurang ditemukan disiplin dan kaburnya
norma-norma kehidupan sebagai pegangan dalam kehidupan berkeluarga.
F.
Remaja
1.
Pengertian Remaja
Remaja, yang bahasa aslinya disebut adolescene, berasal dari bahasa
latin adolescere, yang artinya tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan.
Bangsa primitif dan orang orang purbakala memandang masa puber dan masa remaja
tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan, anak dianggap sudah
dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi (Ali dan Asrori, 2009). Perkembangan
lebih lanjut, istilah adolescene sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup
kematangan mental, emosional, sosial,dan fisik (Hurlock,1991). Pandangan ini
didukung oleh Piaget (Hurlock,1991) yang menyatakan bahwa secara psikologis, remaja
adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat
dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada dibawah
tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar.
Memasuki masyarakat dewasa ini
mengandung banyak aspek efektif, lebih atau kurang dari usia pubertas (Ali dan
Asrori, 2009).
Masa remaja menurut Mappiare (1982), berlangsung antara umur 12
tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun
bagi pria. rentang usia remaja ini dapat di bagi menjadi dua bagian, yaitu usia
12/13 tahun sampai dengan 21/22 tahun adalah remaja akhir. Menurut hukum di
Amerika Serikat saat ini, individu di anggap telah dewasa apabila telah
mencapai usia 18 tahun, dan bukan usia 21 tahun seperti ketentuan sebelumnya
(Hurlock, 1991). Pada usia ini, umumnya anak sedang duduk di bangku sekolah
menengah (Ali dan Asrori, 2009).Masa remaja adalah masa transisi yang ditandai
oleh adanya perubahan fisik, emosi dan psikis. Masa remaja yakni antara usia
10-19 tahun yang merupakan suatu periode masa pematangan organ reproduksi
manusia dan sering disebut masa pubertas. Masa remaja adalah masa periode
peralihan dari masa anak ke masa dewasa. (Widyastuti dkk, 2009).
Pada remaja tersebut terjadilah suatu perubahan organ-organ fisik
(organobiologik) secara cepat dan perubahan tersebut tidak seimbang dengan
perubahan kejiwaan (mental emosional). Terjadinya kematangan seksual atau
alat-alat reproduksi yang berkaitan dengan sistem reproduksi, merupakan suatu
bagian penting dalam kehidupan remaja sehingga diperlukan perhatian khusus,
karena bila timbul dorongan-dorongan seksual yang tidak sehat akan menimbulkan
perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab (Wisyastuti dkk, 2009). Pendapat
Shaw dan Costanzo (1985), bahwa remaja juga sedang mengalami perkembangan pesat
dalam aspek intelektual. Transformasi intelektual dari cara berpikir remaja ini
memungkinkan mereka tidak hanya mampu mengintegrasikan dirinya kedalam
masyarakat dewasa, tapi juga merupakan karakteristik yang paling menonjol dari
semua periode perkembangan (Ali dan Asrori, 2009). Remaja sebetulnya tidak
mempunyai tempat yang jelas. Mereka sudah tidak termasuk golongan anak-anak,
tetapi belum juga diterima secara penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa.
Remaja ada di antara anak dan orang dewasa. Oleh karena itu, remaja sering kali
dikenal dengan fase mencari jati diri atau fase topan dan badai. Remaja masih
belum mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun
psikisnya (Monks dkk, 1989). Namun, yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa
fase remaja merupakan fase perkembangan yang tengah berada pada masa amat
potensial, baik di lihat dari aspek koginitif, emosi maupun fisik (Ali dan
Asrori, 2009).
Menurut Sahw dan Costanzo (1985), perkembangan intelektual yang
terus menerus menyebabkan remaja mencapai tahap berpikir operasional formal.
Tahap ini memungkinkan remaja mampu berpikir secara lebih abstrak, menguji
hipotesis dan mempertimbangkan apa saja peluang yang ada padanya daripada
sekedar melihat apa adanya. Kemampuan intelektual seperti ini yang membedakan
dari fase-fase sebelumnya (Ali dan Asrori, 2009).
2.
Perkembangan Remaja dan Ciri-Cirinya
Berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja kita sangat perlu
untuk mengenal perkembangan remaja serta ciri-cirinya. Berdasarkan sifat
atau ciri perkembangannya, masa (rentang
waktu) remaja ada tiga tahap (Widyastuti dkk, 2009).
a.
Masa Remaja Awal (10-12 tahun)
© Tampak dan
memang merasa lebih dekat dengan teman sebaya.
© Tampak dan merasa
ingin bebas.
© Tampak dan
memang lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir yang
khayal (abstrak).
b.
Masa Remaja Tengah (13-15 tahun)
© Tampak dan
ingin mencari identitas diri.
© Ada keinginan
untuk berkencan atau ketertarikan pada lawan jenis.
© Timbul perasaan
cinta yang mendalam.
c.
Masa Remaja Akhir (16-19 tahun)
© Menampakkan
pengungkapan kebebasan diri.
© Dalam mencari
teman sebaya lebih selektif.
© Memiliki citra
(gambaran, keadaan, peranan) terhadap dirinya.
© Dapat
mewujudkan perasaan cinta.
© Memiliki
kemampuan berpikir khayal atau abstrak.(Widyastuti dkk, 2009).
3.
Tugas-Tugas Perkembangan Masa Remaja
Terdapat perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya
meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan untuk mencapai kemampuan
bersikap dan berperilaku dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja
menurut Hurlock (1991) adalah sebagai berikut:
a.
Mampu menerima keadaan fisiknya.
b.
Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.
c.
Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan
jenis.
d.
Mencapai kemandirian emosional.
e.
Mencapai kemandirian ekonomi.
f.
Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat
diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat.
g.
Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang
tua.
h.
Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk
memasuki dunia dewasa.
i.
Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.
j.
Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan
keluarga.
Tugas-tugas
perkembangan fase remaja ini amat berkaitan dengan perkembangan kognitifnya,
yaitu fase operasional formal. Kematangan pencapaian fase kognitif akan sangat
membantu kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangannya itu dengan
baik. Agar dapat memenuhi dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan, diperlukan
kemampuan kreatif remaja. Kemampuan kreatif ini banyak diwarnai oleh
perkembangan kognitifnya (Ali dan Asrori, 2009).
4.
Perubahan Fisik Pada Masa Remaja
a.
Tanda-Tanda Seks Primer
Yang dimaksud
dengan tanda-tanda seks primer adalah organ seks pada laki-laki gonad atau
testis. Organ tersebut terletak didalam skrotum. Pada usia 14 tahun baru
sekitar 10% dari ukuran matang. Setelah itu terjadilah pertumbuhan yang pesat
selama satu atau dua tahun, kemudian pertumbuhan menurun. Testis berkembang
penuh pada usia 20 atau 21 tahun. Sebagai tanda bahwa fungsi organ-organ
reproduksi pria matang lazimnya terjadi
mimpi basah, artinya ia bermimpi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
seksual, sehingga mengeluarkan sperma.Semua organ reproduksi wanita tumbuh
selama masa puber. Namun tingkat ketepatan antara organ satu dengan lainnya
berbeda. Berat uterus pada anak usia 11 atau 12 tahun kira-kira 5,3 gram, pada
usia 16 tahun rata-rata beratnya 43 gram.
Sebagai tanda
kematangan organ reproduksi pada perempuan adalah datangnya haid. Ini adalah
permulaan dari seragkaian pengeluaran darah, lendir dan jaringan sel yang
hancur dari uterus secara berkala, yang akan terjadi kira-kira setiap 28 hari.
Hal ini berlangsung terus sampai menjelang masa menopause. Menopause bisa
terjadi pada usia sekitar 5 bulan (Widyastuti dkk, 2009).
b.
Tanda-Tanda Seks Sekunder
© Pada Laki-Laki
Rambut yang
mencolok tumbuh pada masa remaja adalah rambut kemaluan, terjadi sekitar satu
tahun setelah testis dan penis mulai membesar. Ketika rambut kemaluan hampir
selesai tumbuh, maka menyusul rambut ketiak dan rambut di wajah, seperti halnya
kumis dan cambang. Kulit menjadi lebih kasar, tidak jernih, pori-pori membesar.
Kelenjar lemak dibawah kulit menjadi lebih aktif. Seringkali menyebabkan
jerawat karena produksi minyak yang meningkat. Aktivitas kelenjar keringat juga
bertambah, terutama bagian ketiak. Otot-otot pada tubuh remaja makin bertambah
besar dan kuat. Lebih-lebih bila dilakukan latihan otot, maka akan tampak
memberi bentuk pada lengan, bahu dan tungkai kaki. Seirama dengan tumbuhnya rambut pada
kemaluan, maka terjadi perubahan suara. Mula-mula agak serak, kemudian
volumenya juga meningkat. Pada usia
remaja sekitar 12-14 tahun muncul benjolan kecil-kecil di sekitar kelenjar susu.
Setelah beberapa minggu besar dan jumlahnya menurun.
© Pada Wanita
Rambut kemaluan
pada wanita juga tumbuh seperti halnya remaja laki-laki. Tumbuhnya rambut
kemaluan ini terjadi setelah pinggul dan payudara mulai berkembang. Bulu ketiak
dan bulu pada kulit wajah mulai tampak setelah haid. Semua rambut kecuali
rambut wajah, mula-mula lurus dan terang warnanya, kemudian menjadi lebih
subur, lebih kasar, lebih gelap dan agak keriting. Pinggul pun menjadi berkembang, membesar dan
membulat. Hal ini sebagai akibat membesarnya tulang pinggul dan berkembangnya
lemak dibawah kulit. Seiring pinggul membesar, maka payudara juga membesar dan
puting susu menonjol. Hal ini terjadi karena harmonis sesuai pula dengan
berkembang dan makin besarnya kelenjar susu sehingga payudara menjadi lebih
besar dan lebih bulat. Seperti halnya laki-laki juga menjadi lebih besar, lebih
tebal, pori-pori membesar. Akan tetapi berbeda dengan laki-laki, kulit pada
wanita tetap lebih lembut. Kelenjar lemak dan kelenjar keringat menjadi lebih
aktif. Sumbatan kelenjar lemak dapat menyebabkan jerawat. Kelenjar keringat dan
baunya menusuk sebelum dan selama masa haid. Menjelang akhir masa puber, otot
semakin membesar dan semakin kuat. Akibatnya akan membentuk bahu, lengan dan
tungkai kaki. Suara berubah semakin
merdu. Suara serak jarang terjadi pada wanita.(Widyastuti dkk, 2009).
G.
Kesehatan Reproduksi
1.
Definisi Kesehatan Reproduksi
Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangungan/
ICPD (International Conference on
Population and Development), di Kairo Mesir tahun 1994 diikuti 180 negara
menyepakati perubahan paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan
pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas/
keluarga berencana menjadi pendekatan yang terfokus pada kesehatan reproduksi
serta hak reproduksi.
Tahun 1995 Konferensi sedunia IV tentang wanita dilaksanakan di
Beijing, Cina, di Haquue 1999, di New York tahun 2000 menyepakati bahwa
definisi kesehatan reproduksi merupakan suatu keadaah sejahtera fisik, mental
dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan
dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan
prosesnya (Widyastuti dkk, 2009).
Kesehatan reproduksi diartikan sebagai suatu kondisi yang menjamin
bahwa fungsi reproduksi, khususnya proses reproduksi, dapat berlangsung dalam
sejahtera fisik, mental maupun sosial dan bukan sekedar terbebas dari penyakit
atau gangguan fungsi alat reproduksi. Berkaitan dengan itu, WHO (2007)
menyebutkan kesehatan reproduksi menyangkut proses, fungsi dan sistem
reproduksi pada seluruh tahap kehidupan. Dengan demikian kesehatan reproduksi
merupakan unsur yang penting dalam kesehatan umum, baik perempuan maupun
laki-laki. Kesehatan reproduksi juga dapat mempengaruhi kesehatan bayi dan
anak-anak remaja dan orang yang berusia di luar masa reproduksi
(menopause).Pemahaman tentang kemungkinan pengaruh kesehatan reproduksi
terhadap kesehatan secara luas sering belum di pahami, hal ini dapat terjadi
oleh karena kurangnya informasi yang benar mengenai kesehatan reproduksi.
Kekurangan ini tidak saja terjadi pada kaum remaja tetapi juga pada kalangan
dewasa dan orang tua.
Biasanya orang awam mengartikan kesehatan reproduksi hanya sebagai
hal-hal yang berhubungan dengan organ reproduksi. Ketidaktahuan masyarakat
mengenai kesehatan reproduksi melahirkan masalah-masalah baru yang diakibatkan
perilaku yang tidak aman, misalnya saja muncul penyakit menular seksual (PMS)
dan HIV/ AIDS (Emilia, 2008).2. Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi Secara luas,
ruang lingkup kesehatan reproduksi dalam siklus kehidupan meluputi:
a.
Kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
b.
Pencegahan dan penanggulangan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR)
termasuk Penyakit Menular Seksual (PMS) HIV/ AIDS.
c.
Pencegahan dan penanganan komplikasi aborsi.
d.
Kesehatan reproduksi remaja.
e.
Pencegahan dan penanganan infertilitas.
f.
Kanker pada usia lanjut dan osteoporosis.
g.
Berbagai aspek kesehatan reproduksi lain, misalnya kanker serviks,
mutasi genital, fistula, dan lain-lain.(Widyastuti dkk, 2009).
2.
Hak-Hak Reproduksi
Hak-hak reproduksi menurut kesepakatan dalam Konferensi
International Kependudukan dan Pembangunan bertujuan untuk mewujudkan kesehatan
bagi individu secara utuh, baik kesehatan jasmani, maupun rohani, meliputi:
a.
Hak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi.
b.
Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi.
c.
Hak kebebasan berfikir tentang pelayanan kesehatan reproduksi.
d.
Hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan.
e.
Hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak.
f.
Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan
reproduksinya.
g.
Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk
perlindungan dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual.
h.
Hak mendapatkan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan kesehatan reproduksi.
i.
Hak atas pelayanan dan kehidupan reproduksinya.
j.
Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.
k.
Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan
berkeluarga dan kehidupan reproduksi.
l.
Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang
berkaitan dengan kesehatan reproduksi.(Widyastuti dkk, 2009)
H.
Penyakit Menular Seksual (PMS)
1.
Pengertian Penyakit Menular Seksual (PMS)
Penyakit Menular Seksual (PMS) adalah infeksi apapun yang terutama
didapat melalui kontak seksual. Penyakit Menular Seksual (PMS) merupakan
istilah umum dan organisme penyebabnya, yang tinggal dalam darah atau cairan
tubuh, meliputi virus, mikoplasma, bakteri, jamur, spirokaeta dan
parasit-parasit kecil. Sebagian organisme yang terlibat hanya ditemukan di
saluran genital (reproduksi) saja tetapi yang lainnya juga ditemukan dalam
organ tubuh lain. Sering kali Penyakit Menular Seksual (PMS) timbul secara bersama-sama
dan jika salah satu ditemukan, adanya Penyakit Menular Seksual (PMS) harus
dicurigai. Terdapat rentang keintiman kontak tubuh yang dapat menularkan
Penyakit Menular Seksual (PMS) termasuk berciuman, hubungan seksual, hubungan
seksual melalui anus, kunilingus, anilingus, felasio dan kontak mulut atau
genital dengan payudara (Benson, 2009).
2.
Penyakit Menular Seksual Yang Disebabkan Oleh Organisme dan Bakteri
a.
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Human
Immunideficiency Virus (HIV) pertama
kali dilaporkan menyebabkan penyakit pada tahun 1981. Di Amerika Serikat AIDS
merupakan penyebab utama kematian nomor lima pada wanita usia subur. Salah satu
kesulitan mengenali infeksi Human Immunideficiency Virus (HIV) adalah masa
laten tanpa gejala yang lama, antara 2 bulan hingga 5 tahun. Umur rata-rata
saat diagnosis infeksi Human Immunideficiency Virus (HIV) ditegakkan adalah 35 tahun (Benson, 2008).
b.
Gonorrhea
Neisseria
gonorrhoeae adalah diplokokus gram negatif yang biasanya berdiam dalam uretra,
serviks, faring atau saluran anus wanita. Infeksi terutama mengenai epitel
kolumner atau transisionel saluran kemih dan kelamin. Organisme ini sangat
sulit untuk dikultur dan peka terhadap suasana kering, cahaya matahari,
pemanasan dan sebagian besar desinfektan. Diperlukan media khusus untuk
mencapai hasil yang optimal. Biakan saluran genital bawah biasanya didapat dengan memutar lidi kapas
selama 15-20 detik jauh didalam saluran endoserviks. Jika dibuat usapan rektum,
insiden keberhasilan meningkat dari 85% menjadi > 90% (Benson, 2009).
c.
Infeksi Chlamidia
Chlamydia
trachomatis adalah mikroorganisme
intraseluler obligat dengan dinding sel yang menyerupai bakteri gram negatif.
Meskipun dikelompokkan sebagai bakteri, namun chlamydia mengandung DNA dan RNA,
dan melakukan pembelahan biner, hanya tumbuh intra seluler seperti virus.
Karena kebanyakan serotipe Chlamydia trachomatis hanya menyerang sel epitel
kolumner (kecuali serotipe L yang agresif), tanda-tanda dan gejala yang terjadi
cenderung terlokalisit di tempat yang terinfeksi misalnya mata atau saluran
genital tanpa adanya invasi ke jaringan dalam (Benson, 2009). Infeksi clhamydia
biasanya berlangsung pada hubungan seks lewat vagina dan anus. Chlamydia
trachomatis dapat pula mengenai mata
bila mata terkena tangan yang sudah menyentuh kelamin dari orang yang
terinfeksi. Chlamydia trachomatis juga
dapat menyerang kerongkongan, sehingga pasangan dianjurkan untuk tidak
melakukan seks oral bila salah satu sudah terkena. Bayi dapat terinfeksi
chlamydia pada matanya sewaktu melewati cervix ibu yang menderita infeksi
(Hutapea, 2003).
d.
Siffilis
Siffilis
merupakan penyakit yang disebabkan oleh spirokaeta Treponema pallidum yang
ditularkan melalui kontak langsung dengan lesi basah yang infeksius. Organisme
ini dapat menembus membran mukosa yang intake atau kulit yang terkelupas atau
didapat melalui transplasenta. Satu kali kontak seksual dengan mitra seksual
yang terinfeksi memberikan kemungkinan 10% menderita siffilis (Benson, 2009).
e.
Vaginitis
Vaginitis
adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan adanya infeksi atau peradangan
vagina. Vaginitis biasanya ditandai dengan adanya cairan berbau kurang enak
yang keluar dari vagina. Gejala lain adalah gatal atau iritasi di daerah
kemaluan dan perih sewaktu kencing. Beberapa kasus vaginitis disebabkan oleh
reaksi alergi atau kepekaan terhadap bahan kimia. Umumnya disebabkan oleh kuman
yang ditularkan secara seksual atau yang tadinya menetap di vagina dan menjadi
ganas karena gangguan keseimbangan di dalam vagina (Hutapea, 2003).
f.
Candidiasis
Candidialis
juga dikenal dengan nama moniliasis, thrush atau infeksi yeast yang disebabkan
oleh jamur Candida albicans. Candidialis
biasanya menimbulkan gejala peradangan, gatal dan perih di daerah
kemaluan. Juga terdapat keluarnya cairan vagina yang menyerupai bubur. Walaupun
fungus selalu terdapat sampai taraf tertentu, biasanya tidak menimbulkan gejala
selama lingkungan vagina terjaga normal.Candidialis dapat ditularkan secara
seksual seperti bola pingpong antar pasangan seks, sehingga dua pasangan harus
diobati secara simultan. Candidialis pada pria biasanya berbentuk Non Gonococcal Urethritis (NGU), penis
memerah, atau lecet dikemaluan yang rasanya membakar dan nyeri sewaktu kencing.
Candidialis juga dapat menular secara non seksual, bila wanita memakai handuk
atau lap yang sama. Penularan juga terjadi melalui seks oral atau anal
(Hutapea, 2003).
g.
Chancroid
Crancoid
(chancre lunak) disebabkan oleh kuman batang gram negatif Haemophilus ducreyi
dan jarang ditemui di Amerika Serikat. Infeksi pada wanita dimulai dengan lesi
papula atau vesikopustuler pada perineum, serviks atau vagina 3-5 hari setelah
terpapar. Lesi berkembang selama 48-72 jam menjadi ulkus dengan tepi tidak rata
berbentuk piring cawan yang sangat lunak. Beberapa ulkus dapat berkembang
menjadi satu kelompok. Discharge kental yang dihasilkan ulkus berbau busuk atau
infeksius (Benson, 2009).
h.
Granuloma Inguinale
Granuloma
inguinale disebabkan oleh Calymmatobacterium granulomatis. Penemuan yang khas
dalam lesi adalah badan Donovan (bakteri yang terbungkus dalam lekosit mononuklear). Hampir tidak
pernah di jumpai di Amerika Serikat (kira-kira 100 kasus/ tahun) tetapi umum
terjadi di India, Brazil dan Hindia Barat. Masa inkubasi 1-12 minggu. Granuloma
inguinale dapat menyebar melalui kontak seksual maupun non seksual yang
berulang (Benson, 2009).
i.
Infeksi Panggul
Infeksi dapat
terjadi pada bagian manapun atau semua bagian saluran genital atas yaitu
endometrium (endometritis), dinding uterus (miositis), tuba uterina
(salpingitis), ovarium (ooforitis), ligamentum latum dan serosa uterina
(parametritis) dan peritoneum pelvis (peritonitis). Organisme dapat menyebar ke
dan di seluruh pelvis dengan salah satu dari lima cara, diantaranya:
© Intralumen
Penyakit radang
panggul akut non purpuralis hampir selalu (kira-kira 99%) terjadi akibat
masuknya kuman patogen melalui serviks ke dalam kavum uteri. Infeksi kemudian
menyebar ke tuba uterina, akhirnya pus dari ostium masuk ke ruang peritoneum.
Organisme yang diketahui menyebar dengan mekanisme tersebut adalah N. gonnorhoeae, C. Trachomatis, Streptococcus
agalactiae, sitomegalovirus dan virus herpes simpleks. Tiga per empat wanita
dengan PRP akut juga menderita endometritis, kira-kira 40%-nya disertai servistis
mukopurulen dan 50% kasus dengan biakan endoserviks positif untuk C.
Trachomatis atau N. Gonnorhoeae juga mengalami endometritis. Fase endometritis
biasanya tidak bergejala, seringkali singkat dan terjadi pada akhir menstruasi.
© Limfatik
Infeksi purpuralis
(termasuk setelah abortus) dan infeksi yang berhubungan dengan IUD menyebar
melalui sistem limfatik seperti infeksi Mycoplasma non purpuralis.
© Hematogen
Penyebaran
hematogen penyakit panggul terbatas pada penyakit tertentu misalnya
tuberkulosis (TBC) dan jarang terjadi di Amerika Serikat (Benson, 2009).
3.
Penyakit Menular Seksual Yang Disebabkan Oleh Virus
a.
Herpes
Virus herpes
simpleks menimbulkan berbagai jenis herpes. Yang paling sering, virus herpes
simpleks tipe 1 (HSV-1) mengakibatkan herpes mulut, berupa lecet dan bentolan
disertai salesma dan demam di daerah mulut dan bibir. HSV-1 juga dapat
ditularkan ke daerah kemaluan dengan sentuhan atau seks oral.Herpes genitalis
disebabkan oleh herpes simpleks tipe 2 (HSV-2) yang mengakibatkan lepuh yang nyeri
dan luka di daerah kemaluan. Herpes ini juga dapat berpindah ke mulut melalui
seks oral.Herpes dapat ditularkan melalui seks per vagina, anal atau oral, atau
dengan menyentuh luka herpes. Sentuhan yang kemudian mengenai mata dapat
menimbulkan infeksi mata serius. Virus ini dapat hidup beberapa jam pada
benda-benda seperti toilet duduk, dan dapat berpindah melalui benda tersebut.
Herpes oral dapat dipindahkan dengan berciuman, memakai gelas atau haduk
bersama penderita herpes dan sudah tentu melalui hubungan seksual (Hutapea,
2003).
b.
Viral Hepatitis
Terdapat
sejumlah jenis radang hati atau hepatitis. Penyebabnya adalah virus dan sering
ditularkan secara seksual. Jenis yang terutama adalah hepatitis A, B, C dan D.
Infeksi hepatitis A biasanya bersifat sementara dan ditandai dengan gejala
kuning (jaundice), yaitu suatu kondisi dimana kulit, urine dan bola mata
menguning karena kadar pigmen empedu yang meninggi di dalam darah. Gejala lain
adalah nyeri perut, lemah dan mual, hilangnya nafsu makan dan tinja yang berwarna
pucat. Hepatitis B lebih parah dan lama serangannya. Hepatitis C gejalanya
ringan, jarang disertai gejala kuning, tetapi dapat berlanjut menjadi penyakit
hati menahun atau kanker hati. Hepatitis D terjadi hanya bersamaan dengan
hepatitis B. Gejalanya mirip dengan hepatitis B tetapi lebih mengancam nyawa
penderita.Hepatitis A dan B dapat ditularkan secara seksual, terutama melalui
kegiatan seks anal. Hepatitis A ditularkan terutama karena melalui kontak
dengan tinja yang terinfeksi, yang dapat mengenai air atau makanan. Transmisi
seksual dari hepatitis A biasanya melalui kegiatan oral dan anal seks.
Transmisi seksual dari hepatitis B dapat juga lewat transfusi darah yang
tercemar, jarum suntik yang dipakai bersama-sama (biasanya pada kelompok pengguna
obat terlarang), dan lewat mani, ludah, cairan mens dan lendir hidung
penderita. Hepatitis C juga dapat ditularkan secara seksual. Sedangkan
hepatitis D ditularkan melalui kegiatan seksual atau kontak dengan darah yang
tercemar.Hepatitis biasanya didiagnosis melalui tes darah untuk memeriksa
kelainan dalam fungsi hati. Tidak terdapat obat untuk hepatitis, tetapi
istirahat ditempat tidur dengan banyak minum cairan biasanya dianjurkan. Vaksin
telah tersedia untuk perlindungan terhadap hepatitis B dab D, karena hepatitis
D tidak mungkin ada tanpa hepatitis B. Tidak ada vaksin terhadap hepatitis C
(Hutapea, 2003).
c.
Genital Warts
Genital Warts
atau disebut juga venerel warts
disebabkan oleh Human Papiloma Virus (HPV). Penyakit ini menyerang pria
dan wanita berusia 20 hingga 24 tahun. Lesi kelihatan didaerah kemaluan dan
anus beberapa bulan setelah infeksi. Wanita lebih rentan daripada pria karena
ada suatu bagian pada leher rahim di mana sel-selnya melakukan pembuahan diri
lebih cepat dibanding yang lainnya, dan Human Papiloma Virus (HPV) membonceng
pada sel-sel tersebut untuk berkembang biak. Genital Warts agak mirip dengan warts (kutil) yang biasa
ada ditelapak kaki dan terdiri dari benjolan gatal dari berbagai bentuk dan
ukuran. Bejolan ini teraba agak keras dengan warna kuning-keabuan pada
permukaan kulit yang kering, sedangkan di daerah basah seperti vagina,
bentuknya seperti bunga kol berwarna merah muda dan teraba lembek. Kutil ini
dapat pula terlihat didaerah penis, kulup, skrotum dan didalam saluran kencing
pada pria. Pada wanita dapat pula muncul di labia mayora dan minora dinding
vagina dan cervix. Pria dan wanita sering juga menemukannya di luar daerah
kemaluan seperti di mulut, bibir, alis, puting susu, sekitar anus atau bahkan
didalam rektum.Genital Warts yang berada didalam uretra akan mengeluarkan
cairan atau darah dan terasa perih. Human Papiloma Virus (HPV) dapat pula
menimbulkan kanker pada organ-organ reproduksi seperti pada penis atau
cervix.Human Papiloma Virus (HPV) dapat ditularkan melalui kontak seks atau
jenis lainnya, seperti melalui pakaian dan handuk. Genital Warts sebaiknya
diangkat dengan menggunakan teknik pembekuan (cryotherapy) dengan nitrogen cair
kutil ini dapat juga dicuci dengan larutan podophylin yang bertujuan untuk
mengeringkan dan membuang jaringannya. Dapat pula dibuang dengan cara membakar
dengan elektrode atau pembedahan baik dengan pisau atau sinar laser. Walaupun
tidakan-tindakan tersebut bertujuan membuang wartsnya, akan tetapi Human
Papiloma Virus (HPV)-nya sendiri tidak lenyap dari dalam tubuh kita. Genital
Warts sewaktu-waktu dapat kambuh lagi (Hutapea, 2003).
4.
Penyakit Menular Seksual Yang Disebabkan Oleh Parasit
a.
Trichomoniasis
Trichomoniasis
atau trich adalah suatu infeksi vagina yang disebabkan oleh suatu parasit atau
suatu protozoa (hewan bersel tunggal) yang disebut trichomonas vaginalis.
Gejalanya meliputi perasaan gatal dan terbakar di daerah kemaluan, disertai
dengan keluarnya cairan berwarna putih seperti busa atau juga kuning kehijauan
yang berbau busuk. Sewaktu bersetubuh atau kencing sering terasa agak nyeri di
vagina. Namun sekitar 50% dari wanita yang mengidapnya tidak menunjukkan gejala
apa-apa.Trichomoniasis hampir semuanya
ditularkan secara seksual. Hal ini dapat mengakibatkan radang saluran kencing
pada pria, yang tidak menunjukkan gejala atau berupa adanya sedikit cairan yang
keluar dari penis biasanya pada waktu kencing pertama sekali di pagi hari.
Dapat juga terasa gatal, geli atau iritasi di uretra. Karena pria dapat
mengidap trich tanpa menyadarinya,
mereka pun dapat menularkannya kepada pasangan-pasangan seksnya. Kuman ini
dapat pula ditularkan melalui kontak dengan mani atau ada pada lap, handuk atau
seprei. Walaupun secara teoritis kontak melalui tempat duduk di toilet kecil
sekali, tetapi bila terjadi kontak langsung pada bagian kemaluan, hal ini dapat
saja terjadi (Hutapea, 2003).
b.
Pediculosis
Pediculosis adalah terdapatnya kutu pada bulu-bulu di
daerah kemaluan. Kutu pubis ini diberi julukan crabs karena bentuknya yang
mirip kepiting seperti di bawah mikroskop. Parasit ini juga dapat dilihat
dengan mata telanjang. Kutu pubis termasuk kelompok serangga kutu penggigit
seperti halnya kutu kepala dan kutu badan. Kutu kepala bergayut pada akar
rambut di kepala dan sering terdapat pada anak-anak sekolah. Kutu pubis sering
ditularkan secara seksual, tetapi juga melalui kontak lewat handuk, seprei dan
tempat duduk di toilet. Kutu pubis hanya dapat hidup dalam satu hari apabila
diluar tubuh manusia. Telur yang terdapat pada kain seprei atau handuk dapat menetas
sesudah satu minggu. Semua alat tidur, handuk dan pakaian yang pernah digunakan
orang pengidap kutu ini harus dicuci dengan air panas atau dry clean untuk
membuang dan memusnahkan telur.Parasit ini menempel pada rambut dan dapat hidup
dengan cara mengisap darah, sehingga menimbulkan gatal-gatal. Masa hidupnya
singkat, hanya sekitar satu bulan. Tetapi kutu ini dapat tumbuh subur dan
bertelur berkali-kali sebelum mati (Hutapea, 2003).
5.
Ancaman Penyakit Menular Seksual Pada Remaja
Karena sifatnya yang lethal (mematikan), AIDS telah menjadi pusat
berita selama kurang lebih satu dekade. Akan tetapi Penyakit Menular Seksual
(PMS) lainnya memberi ancaman maut seperti AIDS. Beberapa jenis Penyakit
Menular Seksual (PMS) akan merusak organ reproduksi dalam jika dibiarkan tidak
diobati sekalipun tanpa menimbulkan gejala seperti nyeri, gatal atau keluarnya
cairan. Walaupun menghadapi bahaya yang di timbulkan oleh Penyakit Menular
Seksual (PMS), banyak orang yang merasa segan dan ragu-ragu membicarakan hal
tersebut dengan pasangan seksnya (Hutapea, 2003).
BAB
III
KERANGKA
KONSEP
A.
Kerangka Konsep
Berdasarkan teori yang telah dijelaskan pada tinjauan pustaka dan
uraian latar belakang, dikemukakan bahwa faktor yang memegang peranan dalam
perilaku seks adalah pemberian pendidikan seks sejak dini. Dari uraian di atas
hubungan variabel-variabel tersebut dapat di visualisasikan dalam skema
kerangka konsep sebagai berikut:
Gambar 3.1
Kerangka Konsep Pada Hubungan Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Pada Remaja
Dengan Perilaku Seks
B.
Definisi Konseptual
1.
Pendidikan Seks
Salah satu cara
untuk mengurangi atau mencegah perilaku seks yang menyimpang, khususnya untuk
mencegah dampak-dampak negatif yang tidak di harapkan (Sarwono, 2007).
2.
Perilaku Seksual
Perilaku adalah
semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun
yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).
C.
Definisi Operasional
D.
Hipotesa
Hipotesa sebagai jawaban sementara penelitian, patokan dugaan atau
dalil sementara yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut
(Notoatmodjo, 2005). Berdasarkan masalah yang telah di paparkan maka hipotesa
dalam penelitian ini adalah:
Ho : Tidak ada hubungan
antara pemberian pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Negeri 13 Pandeglang Tahun
2009.
Ha
: Ada hubungan antara
pemberian pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Negeri 13 Pandeglang
Tahun 2009.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Desain Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
dua variabel. Variabel terikat (Dependent) dalam penelitian ini adalah perilaku
seksual dan variabel bebas (Independent) dalam penelitian ini adalah pemberian
pendidikan seks sejak dini.Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan
menggunakan studi Cross Sectional, yaitu suatu penelitian untuk mempelajari
dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara
pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Point
Time Approach). Artinya, tiap objek penelitian hanya di observasi sekali saja
dan pengukuran terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat
pemeriksaan. Hal ini tidak berarti bahwa semua subjek penelitian diamati pada
waktu yang sama (Notoatmodjo, 2005).
B.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di SMA Negeri 13 Pandeglang pada
tanggal 14 Agustus – 18 Agustus tahun 2009.
C.
Variabel Penelitian
1.
Variabel Dependent
Variabel
Dependent adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas atau Idependent
(Notoatmodjo, 2005). Variabel Dependent dalam penelitian ini adalah perilaku
seksual.
2.
Variabel Independent
Variabel
Independent adalah variabel yang mempengaruhi variabel Dependent (Notoatmodjo,
2005). Variabel Independent dalam penelitian ini adalah pemberian pendidikan
seks sejak dini.
D.
Populasi dan Sampel
1.
Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang
diteliti (Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
siswa dan siswi di SMA Negeri 13 Pandeglang dengan jumlah 208 siswa.
2.
Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang
diteliti mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Pengambilan sampel
diambil secara Proporsive Sampling yaitu pengambilan sampel didasarkan pada
suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri berdasarkan ciri
atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Sampel dalam
penelitian ini adalah objek penelitian yang terpilih pada saat kunjungan ke
Dinas Pendidikan Kabupaten Pandeglang yaitu SMA Negeri 13 Pandeglang. Karena
sekolah tersebut merupakan salah satu sekolah yang berdiri sejak tahun 2003,
dengan keterangan SK sekolah baru. Berdasarkan hasil data yang diambil dari
Dinas Pendidikan Kabupaten Pandeglang bahwa jumlah siswa dan siswi di SMA
Negeri 13 Pandeglang adalah 208 siswa. Rumus menentukan besarnya sampel menurut
Ariawan (1998) adalah sebagai berikut: n=Z1-α/22P1-PNd2(N-1)+Z1-α/22P(1-P)
Keterangan: n = Jumlah sampel
Z1-α/22= Standar deviasi normal, ditentukan pada 1.96
P
= Ketetapan, yaitu 0,5
d
= Penyimpangan terhadap populasi atau
derajat ketetapan yang diinginkan
sebesar 0,1
N
= Jumlah Populasi
E.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan instrumen berupa kuisioner untuk tingkatkan pengetahuan siswa dan
siswi tentang pendidikan seks dan rating scale untuk perilaku seks.
1.
Kuisioner
Bentuk kuisioner berupa pertanyaan tertutup berskala ordinal dengan
jumlah jawaban sebanyak 3 alternatif pilihan, artinya semua jawaban sudah di
sediakan dan responden hanya memilih salah satu jawaban yang tersedia. Jumlah
kuisioner untuk pemberian pendidikan seks sejak dini sebanyak 20 pertanyaan.
2.
Wawancara
Wawancara adalah mengajukan pertanyaan kepada responden tentang
pendidikan seks yang di dapat sejak dini apakah sesuai dengan yang pendidikan
seks yang didapatkan.
3.
Rating Scale
Rating Scale adalah bentuk pengumpulan data untuk mengetahui
perilaku seksual dengan menggunakan satu skala. Jenis skala perilaku seks yang
di pakai dalam penelitian ini adalah skala likert, dimana masing-masing
pertanyaan ada empat kemungkinan jawaban yaitu Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak
Setuju (ST), Setuju (S), dan Sangat Setuju (SS), jumlah pertanyaan rating scale
berjumlah 20 pertanyaan.
F.
Instrumen Penelitian
1.
Pemberian Pendidikan Seks
2.
Perilaku Seksual
G.
Uji Validitas dan Reliabilitas
1.
Validitas
Validitas berasal dari kata Validity yang mempunyai sejauh mana
ketepatan suatu alat ukur dalam pegukuran suatu data (Hastono, 2007). Untuk
mengetahui validitas suatu instrumen dilakukan dengan cara melakukan korelasi
antar skor totalnya. Suatu variabel dikatakan valid bila skor variabel tersebut
berkorelasi secara signifikan dengan skor totalnya. Uji validitas yang
digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan korelasi “Pearson
Product Moment”.
r=N∑XY-(∑X∑Y)N∑2-(∑X)2N∑Y2-(∑Y)2
Keterangan : N = Jumlah sampel
X
= Skor pertanyaan yang di uji
Y = Skor
total
XY
= Skor pertanyaan yang di uji di kali
skor total
Keputusan uji:
Bila r hitung
lebih besar dari r tabel maka Ho ditolak, artinya variabel valid.
Bila r hitung
lebih kecil dari r tabel maka Ho gagal ditolak, artinya variabel tidak valid.
2.
Reliabilitas
Reliabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan sejauh mana hasil
pengukuran tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih
terhadap gejala yang sama dan dengan alat ukur yang sama (Hastono, 2007). Uji
validitas dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan one shot atau sekali
ukur. Penghitungan dilakukan dengan sistem komputer. Suatu instrumen dikatakan
reliable bila r alpha chronbach/ keseluruhan lebih besar dari r alpha if item
deleted.
Uji validitas
dan reliabilitas dilakukan pada tanggal 5 Agustus 2009 di SMA Negeri 6
Pandeglang pada 10 responden, karena menurut Notoatmodjo (2003) bahwa responden
yang digunakan untuk uji coba sebaiknya harus memiliki ciri-ciri responden dan
tempat dimana penelitian dilaksanakan.
Uji validitas
menggunakan sistem pengolahan data dengan menggunakan teknik product moment
coefficient of correlation. Instrumen pendidikan seks terdiri dari 20
pertanyaan, hasil analisis untuk instrumen penelitian tentang pemberian
pendidikan seks sejak dini didapatkan bahwa item pertanyaan nomor 1, 2, 3, 4,
5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, dan 19 lebih besar dari r
tabel yaitu 0,632. Sedangkan untuk item pertanyaan 20 kecil dari r tabel, maka
dapat disimpulkan 19 item pertanyaan yang valid dan 1 item pertanyaan yang
tidak valid. Menurut hastono (2007) bahwa instrumen dikatakan valid jika r
hitung lebih besar dari r tabel, sehingga 1 item pertanyaan yang tidak valid
harus diganti atau dihilangkan hal ini sesuai dengan teori Notoatmodjo (2003).
Untuk pertanyaan yang tidak valid kemudian peneliti menggantinya. Sedangkan
dari hasil uji reliabilitas instrumen dengan menggunakan rumus alpha if item
deleted, maka dapat disimpulkan bahwa instrumen tersebut reliabel.Uji instrumen
perilaku tersedia 20 pertanyaan dan hasil analisis untuk instrumen penelitian
perilaku didapatkan bahwa item pertanyaan nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 10, 11,
12, 13, 14, 15, 16, 18, 19, dan 20 lebih besar dari r tabel yaitu 0,632.
Sedangkan untuk item pertanyaan nomor 7, 8, dan 17 lebih kecil dari r tabel,
maka dapat disimpulkan 17 item pertanyaan yang valid dan 3 pertanyaan yang
tidak valid. Menurut Hastono (2007) bahwa instrumen di katakan valid jika r
hitung lebih besar dari r tabel. Sehingga 3 item pertanyaan yang tidak valid
harus diganti atau dihilangkan hal ini sesuai dengan teori Notoatmodjo (2003).
Untuk pertanyaan yang tidak valid kemudian peneliti menggantinya. Maka hasil
uji reliabilitas instrumen untuk sikap dengan menggunakan rumus alpha if item
deleted, maka dapat di simpulkan bahwa instrumen tersebut reliabel.
H.
Pengolahan Data
1.
Editing
Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir atau
kuisioner apakah jawaban yang ada di kuisioner sudah lengkap, jelas, relevan
dan konsisten.
2.
Coding
Pada tahapan ini dilakukan pemberian kode pada jawaban pertanyaan
dalam kuisioner. Kegunaan koding adalah untuk mempermudah pada saat analisis
data dan juga mempercepat pada saat entry data.
3.
Processing
Setelah semua kuisioner terisi penuh dan benar, serta sudah
melewati pengkodean, maka langkah selanjutnya adalah memproses data agar data
yang sudah di entry dapat di analisis. Pengolahan data dilakukan dengan cara
mengentry dari data kuisioner ke paket program komputer.
4.
Cleaning
Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan kembali
data yang sudah di entry apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan tersebut di
mungkinkan terjadi pada saat mengentry ke komputer. (Hastono, 2007).
I.
Teknik Analisa Data
1.
Analisa Univariat
Analisa ini dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian.
Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase
dari tiap variabel. Variabel dalam penelitian ini adalah pemberian pendidikan
seks sejak dini. Analisis data yang digunakan untuk pemberian pendidikan seks
sejak dini adalah dengan menggunakan skor dikotomi (1-0), yaitu apabila jawaban
benar diberi nilai 1 dan jawaban yang salah di beri nilai 0. Sedangkan untuk
variabel perilaku seks dengan menggunakan skala likert yang terdiri dari lima
alternatif jawaban dan masing-masing diberi nilai. Untuk pernyataan positif:
Sangat Tidak Setuju (STS) = 1, Tidak Setuju (TS) = 2, Setuju (S) = 3, Sangat
Setuju (SS) = 4. Sedangkan untuk pernyataan negatif: Sangat Tidak Setuju (STS)
= 4, Tidak Setuju (TS) = 3, Setuju (S) = 2, Sangat Setuju (SS) = 1. Dilanjutkan
dengan menjumlahkan nilai atau skor yang diperoleh responden dari tiap
pertanyaan untuk variabel pendidikan seks.
a.
Variabel Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini
Dengan rumus: P=∑NSK x 100%
Keterangan: P = Aspek Pemberian Pendidikan Seks
∑N = Jawaban yang benar
SK = Skor maksimum
(Arikunto, 1998:246)
Hasil pengukuran yang bersifat kualitatif untuk aspek pemberian
pendidikan seks sejak dini, selanjutnya dimasukkan ke dalam standar kriteria
objektif yang bersifat kuantitatif sebagai berikut: Baik = Bila
didapat 76-100%
Cukup = Bila didapat 56-75%
Kurang = Bila didapat < 55%
b.
Variabel Perilaku SeksPengukuran variabel sikap dalam penelitian
ini yaitu menggunakan skala model likert yang terdiri dari 4 alternatif jawaban
dan masing-masing diberi nilai. Responden diminta pendapatnya mengenai setuju
atau tidak setuju terhadap sesuatu hal. Pendapat ini dinyatakan dalam berbagai
tingkat persetujuan (1-4) terhadap pernyataan yang disusun oleh peneliti. Dilanjutkan
dengan menjumlahkan nilai atau skor yang diperoleh responden dari tiap
pernyataan. Rentang alternatif jawaban yang terdapat pada instrumen ini adalah
1-4 dengan demikian nilai tertinggi yang mungkin dicapai oleh responden untuk
masing-masing sikap adalah 4 x 20 = 80. Sedangkan nilai terendah yang mungkin
dicapai responden adalah 1 x 20 = 20. Berdasarkan nilai tersebut ditentukan
nilai median untuk kategorisasi dengan menggunakan rumus median dari Rasyid
(1994) dikutip oleh Nurhayati (2005) sebagai berikut : median =skor minimal+skor maksimal2
Keterangan : Skor minimal : 20
Skor maksimal : 80
median =20+802
=1002
=501.
Anailisa
Bivariat
Analisa
bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang di duga berhubungan, dengan
tujuan untuk melihat hubungan antara variabel Independent dengan variabel
Dependent. Untuk membuktikan adanya hubungan antara dua variabel tersebut
dengan menggunakan uji statistik Chisquare dengan batas kemaknaan alpha = 0,05
apabila nilai P < α maka hasil
perhitungan statistik bermakna (Notoatmodjo, 2005). Rumus Chisquare (X2)
yang digunakan adalah: X2=(O-E)2E
Keterangan: X2 = Nilai Chisquare
O = Frekuensi observasi
E = Frekuensi harapan (Hastono,
2007)
J.
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian atau langkah-langkah penelitian bergeuna untuk
mempermudah peneliti menyelesaikan penelitian. Adapun prosedur atau
langkah-langkah penelitian ini sebagai berikut :
1.
Tahap Persiapana.
a.
Menentukan masalah
b.
Memilih lahan penelitian
c.
Melakukan studi pendahuluan
d.
Menyusun proposal
e.
Seminar proposal penelitian
2.
Tahap Pelaksanaan
a.
Izin Penelitian
b.
Mendapatkan informed consent dari responden
c.
Melakukan pengumpulan data
d.
Melakukan pengolahan dan analisa data
3.
Tahap Akhir
a.
Menyusun laporan hasil penelitian
b.
Sidang atau presentasi hasil penelitian
BAB
V
HASIL PENELITIAN
A.
Hasil Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pemberian
pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual. Pengumpulan data memerlukan
waktu 10 hari yaitu dari tanggal 14 Agustus sampai 24 Agustus 2009 data yang dikumpulkan
adalah data primer yang didapat langsung dari responden dan pengumpulan data
dilakukan di SMA Negeri 13 Pandeglang. Setelah semua data terkumpul maka untuk
selanjutnya melakukan pengolahan data dari mulai tabulasi sampai dengan uji
statistik dengan bantuan perangkat lunak komputer. Hasil uji statistik terbagi
ke dalam 2 analisa yaitu univariat dan analisa bivariat. Hasil penelitian
tersebut disajikan sebagai berikut:
1.
Analisa Univariat
Berdasarkan
Tabel 5.1 bahwa responden yang memperoleh pendidikan yang cukup tentang
pendidikan seks yaitu sebanyak 50% atau sebagian besar responden memperoleh
pendidikan yang cukup tentang seks. Dikarenakan banyak informasi yang diserap
dan diterima oleh siswa dan siswi melalui internet atau buku-buku yang dibaca
oleh siswa, disamping itu sosial budaya di lingkungan sekolah tersebut sangat
terbuka sehingga memudahkan informasi itu masuk pada siswa.
Berdasarkan
tabel 5.2 bahwa responden yang memiliki perilaku positif terhadap perilaku seks
yaitu sebanyak 60,6%. Hal ini terjadi karena responden memiliki pendidikan yang
baik, faktor lain yang mempengaruhi terbentuknya perilaku positif responden
yaitu faktor eksternal dan internal. Sedangkan responden yang bersikap negatif
terhadap perilaku seksual, hal ini terjadi karena kurangnya faktor-faktor dari
eksternal maupun internal. Sehingga responden menganggap bahwa perilaku seksual
merupakan hal biasa.
2.
Analisa Bivariat
Hubungan antara pemberian pendidikan seks sejak dini dengan
perilaku seksual
Berdasarkan Tabel 5.4 bahwa sebagian besar responden (75,8%) yang
memperoleh pendidikan cukup tentang pendidikan seks berperilaku positif,
dibandingkan dengan kelompok responden yang berperilaku negatif hanya (24,2%).
Hasil Uji Statistik (Chi Square) di dapatkan nilai P = 0,027
berarti P < = 0,05. Sehingga dapat disimpulkan Ho
ditolak. Hal ini membuktikan
bahwa ada hubungan antara pemberian pendidikan seks sejak dini dengan perilaku
seks.
BAB VI
PEMBAHASAN
A.
Gambaran Pemberian Pendidikan Seks
Berdasarkan hasil penelitian diatas terlihat bahwa yang memperoleh
pendidikan seks dengan cukup yaitu sebanyak 33 (50%). Dengan kata lain remaja
siswa dan siswi SMA Negeri 13 Pandeglang memiliki pendidikan yang cukup tentang
pendidikan seks. Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005).
Hasil penelitian sesuai dengan Sarwono (2007) bahwa pendidikan seks
adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks,
khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan seperti
kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular seksual, depresi dan
perasaan berdosa.
Dimana menurut Andersen pendidikan merupakan salah satu variabel
yang dipakai dalam model struktur social, diketahui bahwa individu yang berbeda
tingkat pendidikannya, mempunyai kecenderungan yang tidak sama dalam mengerti
dan beraksi terhadap kesehatan mereka dan juga dalam hal cara penggunaan kesehatan.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Kuncoroningrat (1957) dalam Nursalam (2001)
bahwa makin tinggi pendidikan seseorang, makin rendah menerima informasi.
Sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki, sehingga pendidikan
yang kurang akan menghambat perkembangan perilaku seseorang terhadap
nilai-nilai yang baik diterimanya. Sesuai dengan pendapat peneliti bahwa
pendidikan seks bukanlah penerapan tentang seks semata-mata, akan tetapi sama
seperti pendidikan umum lainnya (Pendidikan Agama atau Pendidikan Moral
Pancasila) yang mengandung pengalihan nilai-nilai dari pendidikan ke
subyek-didik. Pendidikan seks yang kontekstual mempunyai ruang lingkup yang
cukup luas, tidak terbatas pada perilaku hubungan seks semata tetapi menyangkut
pula hal-hal seperti peran pria dan wanita dalam masyarakat, hubungan
pria-wanita dalam pergaulan dan peran ayah–ibu dan anak-anak dalam keluarga.
B.
Gambaran Perilaku Seksual
Berdasarkan hasil penelitian diatas terlihat bahwa responden yang
memiliki perilaku positif terhadap perilaku seks yaitu sebanyak 40 (60,6%).
Dibandingkan dengan responden yang berperilaku negatif terhadap perilaku
seksual yaitu sebanyak 26 (39,4%).Menurut Azwar (2003) bahwa sikap merupakan
cikal bakal dari sebuah perilaku karena sikap merupakan kecenderungan seseorang
untuk berperilaku. Jika ada kesejajaran antara sikap dan perilaku. Dapat
disimpulkan bahwa terdapat banyak faktor menyebabkan perilaku responden kurang
baik, diantaranya pengetahuan, sikap dan tingkat pendidikan.Sarwono (2007)
mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku seksual adalah segala tingkah
laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun
dengan sesama jenis. Hal ini dapat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi yaitu
apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi
penghayatan kita terhadap stimulus sosial, tanggapan dan penghayatan seseorang
harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis. Untuk dapat
menjadi dasar pembentukan sikap pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan
yang kuat oleh karena itu sikap akan mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi
tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional dalam situasi
yang melibatkan emosi penghayatan, pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama
membekas. Pengaruh orang lain, orang lain disekitar kita merupakan salah satu
komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita.
Media massa, berbagai media massa seperti televise, radio, surat
kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh dalam pembentukan opini dan
kepercayaan orang dalam menyampaikan informasi sebagai tugas pokoknya media
massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini
seseorang.Berdasarkan hasil penelitian bahwa responden yang berperilaku positif
terhadap perilaku seksual, terjadi karena responden memperoleh pendidikan yang cukup, faktor lain
yang memperngaruhi terbentuknya perilaku positif responden yaitu faktor
lingkungan eksternal dan internal. Sedangkan responden yang berperilaku negatif
terhadap perilaku seksual, terjadi karena kurangnya pendidikan responden
tentang seksual, serta kurangnya faktor-faktor dari eksternal maupun internal.
Sehingga responden menganggap bahwa seks merupakan hal biasa yang tidak
membahayakan bagi dirinya maupun orang lain.
C.
Hubungan Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku
Seksual Berdasarkan hasil uji statistic (Chi Squere) didapatkan nilai P = 0,027
berarti nilai P < α = 0,05 sehingga
dapat disimpulkan Ho ditolak. Hal ini membuktikan bahwa ada hubungan antara
pemberian pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual. Pengetahuan dapat
diperoleh diantaranya melalui pendidikan formal, non formal, pengalaman dan
melalui media masa. Menurut Notoatmodjo (2007) bahwa pengetahuan diperoleh
sebagian besar melalui mata dan telinga dengan kata lain melalui penglihatan
dan pendengaran. Pengetahuan yang diperoleh melalui penglihatan dapat dilakukan
dengan membaca dari media cetak yang beredar dimasyarakat, baik berupa buku,
Koran dan majalah-majalah juga dapat diperoleh melalui media massa dan
internet. Sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui pendengaran dapat
diperoleh dari mendengarkan berita dari radio dan televise dari pengalaman dan
penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan bersifat
langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo,
2007). Sebelum seseorang berperilaku di dalam diri seseorang terjadi proses yang
berurutan yakni kesadaran dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap objek, dimana orang mulai tertarik kepada objek,
menimbang-nimbang terhadap baik dan tidaknya objek tersebut bagi dirinya.Hal
ini berarti sikap dan pengetauan siswa sudah lebih baik. Apabila penerimaan
perilaku melalui proses seperti ini dimana didasari oleh pengetahuan,
kesadaran, dan sikap yang positif maka perilaku pun akan muncul dalam dirinya.
Perilaku seseorang terhadap penyakit yaitu bagaimana manusia berespon, baik
secara pasif (mengetahui, bersikap, dan memprestasi penyakit yang ada pada
dirinya dan luar dirinya, maupun aktif
(tindakan yang dilakukan sehubungan dengan penyakit tersebut).Maka
peneliti menyimpulkan bahwa responden yang berpendidikan cukup serta di dasari
kesadaran dan perilaku positif maka dapat mempengaruhi responden untuk
berperilaku positif. Kesadaran dan perilaku positif perlu juga di berikan
penyuluhan dan bimbingan dari pihak pelayanan kesehatan yaitu untuk membantu
dan mempengaruhi responden untuk berperilaku positif.
BAB
VII
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan dari tujuan penelitian dan hasil penelitian yang di
peroleh tentang hubungan pemberian pendidikan seks sejak dini dengan perilaku
seksual pada remaja di SMA Negeri 13 Pandeglang, maka penulis mengambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.
Dari hasil penelitian yang didapat dari sampel 66 siswa, sebagian
besar siswa memiliki pengetahuan yang cukup yaitu sebanyak 33 siswa (50%)
sedangkan yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik sebanyak 32 siswa atau
(48,5%) dan siswa yang memiliki pengetahuan kurang sebanyak 1 siswa atau
(1,5%).
2.
Perilaku siswa terhadap pendidikan seks, menunjukan bahwa dari 66
siswa. sebanyak 40 responden atau (60,6%) mempunyai sikap positif. sedangkan
sebanyak 26 responden atau (39,4%) responden mempunyai sikap yang negatif.
3.
Berdasarkan dari uji statistic dengan menggunakan Chi-square terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian pendidikan
seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Negeri 13 Pandeglang
tahun 2009.
Berdasarkan data yang telah diperoleh dari penelitian terhadap 66
responden siswa SMA Negeri 13
Pandeglang maka dapat disimpulkan bahwa
Sikap secara keseluruhan, didapatkan
hasil sebagian besar responden mendukung (favorable) terhadap sikap remaja dan sisanya responden bersikap tidak
mendukung (unfavorable). Dalam hal ini pendidikan seks akan membuat aspek lain
juga sehat baik secara fisik, seksual dan psikososial seseorang. Pendidikan
seks sejak dini bukan merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan. Setiap remaja
bisa membicarakan hal ini dengan guru disekolah dan orang tua selama dirumah
agar informasi yang didapatkan benar. Remaja dalam hal ini mempunyai kewajiban
menjaga organ serta fungsi seksualitasnya dari sejak dini. Hal yang harus
dijunjung tinggi oleh wanita adalah menjaga keperawanan. Hubungan seksual
sebelum menikah dan aborsi bukan merupakan hal yang trendi di masa sekarang.
Sehingga kesehatan reproduksi remaja akan menjadikan seseorang akan bertanggung
jawab dalam membuat keputusan terlebih dahulu dipikirkan dengan akal yang
sehat.
B.
Saran
1.
Bagi Institusi STIKes Faletehan
Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai dasar penelitian
lanjutan dengan desain dan populasi yang sama, akan tetapi dengan variabel yang
berbeda, seperti kebiasaan, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
seksual,dan lain-lain.
2.
Bagi Institusi Sekolah
SMA Negeri 13 Pandeglang yang siswanya berada pada tahap masa
remaja. Dalam hal ini pihak sekolah harus tetap meningkatkan kegiatan yang
berhubungan dengan pendidikan seksual pada
remaja. Hal ini berguna agar siswa SMA Negeri 13 Pandeglang tidak terbawa arus tentang
pergaulan seks bebas yang terjadi akhir-akhir ini dikalangan pelajar sehingga
siswanya dapat bertanggung jawab terhadap segala tindakan yang akan dilakukan
serta tetap menjaga organ serta fungsi seksual sesuai dengan masa
perkembangannya.Untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan sikap siswa terhadap
perilaku seksual menyimpang, sehingga penelitian ini dapat menjadi bahan
pertimbangan bagi pihak sekolah untuk meningkatkan dan membina siswa-siswanya
dengan kegiatan yang positif sehingga dapat mengembangkan potensi yang dimiliki
remaja dan terhindar dari perilaku seksualitas yang tidak sehat.
3.
Bagi Peneliti Selanjutnya
Adanya kecenderungan semakin meningkatnya perilaku remaja
menyimpang tidak dilakukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangannya serta
intervensi program pendidikan
seksualitas remaja, pada suatu saat akan terjadi penurunan kualitas kesehatan
seksual remaja yang berarti pula akan mempengaruhi kualitas bangsa. Kepada
peneliti selanjutnya, disarankan untuk meneliti lebih lanjut tentang "
Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap remaja terhadap perilaku seksual remaja ".
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. Dkk. 2009. Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik.
Jakarta: PT.
Bumi Aksara.
Benson, R. C. Dkk. 2008. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi, Edisi
9. Jakarta:
EGC.
Diknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta:
Balai
Pustaka.
Emilia, O. 2008. Promosi Kesehatan Dalam Lingkup Kesehatan
Reproduksi.
Pustaka Cendikia.
Glasier, A. Dkk. 2005. Keluarga Berencadan Dan Kesehatan
Reproduksi. Jakarta:
EGC.
Glevinno, A. 2008. Remaja dan Seks.
(http://public.kompasiana.com/).
Hastono, S. P. 2007. Analisis Data Kesehatan. Jakarta: Fakultas
Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
Herdiana, Y. 2007. Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Siswa-Siswi
Tentang
Perilaku Seks Bebas Di SMUN 6 Pandeglang. Serang: STIKes
Falatehan.Hutapea, R. 2003. AIDS & PMS dan Pemerkosaan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Kuntjojo. 2008. Mencegah Perilaku Seks Yang Tidak Sehat Pada Remaja
Melalui
Pendidikan seks. (http://ebekunt.wordpress.com/).
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:
PT. Rineka
Cipta.
________. 2005. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
________. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar.
Jakarta:
PT. Rineka Cipta.
Nursalam, S. P. 2001. Pendekatan Praktis Metode Riset Keperawatan.
Jakarta :
CV. Sagung Seto.
Nursalam. 2008. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Pasti, Y. P. 2008. Memotret Perilaku Seks Remaja.
(http://whandi.net/index.php?).
Paud. 2008. Usia Dini dan Pendidikan Anak Usia Dini.
(http://guruenglish.wordpress.com).
Sarwono, S. W. 2007. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Remaja Dan Permasalahannya.
Jakarta:
Sagung Seto.
Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
Tambayong, J. 2001. Anatomi dan Fisiologi untuk Keperawatan.
Jakarta: EGC.
Widiyastuti, Y. Dkk. 2009. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta:
Fitramaya.
Willis, S. S. 2005. Remaja Dan Masalahnya. Bandung: Alfabeta.
0 komentar:
Posting Komentar
Tulislah walau satu kata,.!!